Kulafaurasyidin Abubakar Al Shiddiq dan Umar ibn Khattab
Balai Bani Saidah
Pada saat Nabi Besar Muhammad telah terberita wafat maka kalangan Al Anshar mengadakan sidang pada Balai bani Saidah itu. Saad ibn Ubadah tengah sakit. Ia dipapah orang guna menghadiri sidang itu. Ia diminta berbicara. Karena suaranya tidak mengizinkan lagi, demikian Muhammad Ridha di dalam karyanya Abu-bakar Al Shiddiq cetakan 1950 halaman 20, maka ia meminta puteranya menyampaikan segala buahtuturnya.
Tarikh-al-Thabari, jilid III, mencatat isi pidato Saad ibn Ubadah pada saat itu berbunyi :
’’Kamu, hai kalangan Al Anshar, terdahulu di dalam Agama, termulia di dalam Islam, yang tidak dimiliki kabilah Arab lainnya. Muhammad s.a.w. berdiam belasan tahun dalam lingkungan kaumnya, menyampaikan dakwah supaya menyembah Al Rahman, meng-esakan Al Rahman, melepaskan lain-lain pujaan. Tetapi cuma sedikit yang mau ber-Iman, hingga mereka itu tidak mampu menjamin keselamatan Rasul Allah, tidak mampu memperkem-bang agamanya, bahkan tidak mampu membela diri mereka sendiri.”
’’Allah menganugerahkan rahmat dan nikmat kepada kamu, kemuliaan dan kehormatan, dengan menganugerahkan Iman kepa-da-Nya dan kepada rasul-Nya. Membela rasul-Nya itu dan segala sahabatnya, memuliakannya dan memperkembang agamanya, berjihad menantang segala musuhnya.”
’’Kamu bersikap keras terhadap segala musuhnya, hingga bangsa Arab pada akhirnya tunduk kepada agama Allah. Allah
memberkahi bumi tempat kediaman kamu ini. Dengan pedang kamu itulah tunduk bangsa Arab. Allah mewafatkannya kini, sedangkan dia sendiri menaruh rela kepada kamu, menjadi buah hatinya. Tetapi mereka itu (Al Muhajirin) bertindak hendak merebut pimpinan. Pimpinan itu adalah hak kamu, bukan hak siapapun di luar kamu.”
Ibnu Jurair Al Thabari (wafat 311 H/923 M) hidup pada abad keempat Hijrah. Jikalau benar bahwa begitulah bunyi pidato Saad ibn Ubadah itu, yakni kata demi kata, maka dapatlah dibayangkan pengaruh pidato tersebut terhadap kalangan Al Anshar. Terutama bagi pihak Awwam di dalam kalangan Al Anshar. Konon hampir seluruhnya sependapat untuk menunjuk dan mengangkat Saad ibn Ubadah memegang pimpinan tertinggi, menggantikan Nabi Besar Muhammad. Saad ibn Ubadah sendiri punya hasrat yang besar sekali untuk memegang jabatan tersebut. Bahkan sidang kalangan Al Anshar itu diadakan atas anjurannya dan desakannya.
Kedatangan Abubakar Al Shiddiq
Kalangan Al Muhajirin yang berkerumun-kerumun sekitar rumah Ummul-Mukminin Aisyah dan sekitar Masjid Nabawi itu cepat beroleh berita tentang persidangan kalangan Al Anshar itu. Semuanya ingin datang berbondong-bondong ke tempat persidangan itu akan tetapi dicegat oleh Abubakar Al Shiddiq.Setelah berunding maka kalangan Al Muhajirin itu cuma mengirim tiga tokoh bagi menghadiri persidangan itu, yaitu: Abubakar Al Shiddiq dan Umar ibn Khattab dan Abu Ubaidah ibn Jarrah. Hal itu diputuskan guna menghindarkan sesuatu kemungkinan.
Ketiga tokoh itu masih sempat mendengarkan bagian terakhir dari pidato Saad ibn Ubadah. Konon Umar ibn Khattab tidak mampu menahan diri saat itu dan ingin maju ke depan bagi menangkis pidato tersebut tetapi dapat dicegat oleh Abubakar Al Shiddiq.
Abubakar' Al Shiddiq, tokoh tua yang disegani segala pihak itu, maju ke depan dengan sikap yang tenang. Tokoh tua itu dikenal dan dihormati dengan panggilan Tsaniu-Itsnain, yakni Tokoh Kedua pada persembunyian di dalam Gua-Al-Tsur, menuruti panggilan yang diberikan Allah Maha Agung di dalam Ayat Al Qur-an (Surah Al Taubat, ayat 41). Dengan sikapnya yang tenang itu iapun berikhtiar menenangkan suasana.
Setelah mengucapkan puji-pujian terhadap Allah Maha Kuasa dan terhadap Rasul-Nya maka iapun memberikan penjelasannya. Iapun mengemukakan jasa-jasa besar yang telah disumbangkan kalangan Al Anshar selama ini, baikpun terhadap kalangan Al Muhajirin sendiri maupun bagi pengembangan agama Islam, dan kemudian menjelaskan kedudukan Rasul Allah di dalam hubungannya dengan sukubesar Kurais. Di antara lainnya, menurut Tarikh-al-Thabari, berbunyi :
’’Allah telah menganugerahkan kepada Al Muhajirin itu sebagai pihak yang paling pertama membenarkannya, ber-Iman dengannya, menderita bersamanya, memikul segala macam azab-siksa, sewaktu sekaliannya masih menantangnya dan memusuhinya. Sekalipun begitu tidaklah kecut walaupun jumlah masih sedikit.”
’’Mereka itulah pihak yang pertama-tama menyembah Allah kembali di muka bumi, ber-iman dengan Allah dan dengan Rasul-Nya. Mereka itulah keluarganya dan lebih berhak dengan pimpin^ sepeninggalnya. Tiada siapapun dapat membantah hal itu kecuali pihak yang sengaja melupakan kenyataan tersebut.”
’’Kamu, o masyarakat Al Anshar, tiada siapapun dapat membantah keutamaan kedudukan kamu di dalam Agama, masuk pihak yang terdahulu di dalam Islam. Allah Maha Kuasa telah rela memanggilkan kamu dengan para Penolong (Al Anshar), baikpun bagi Agama maupun bagi Rasul-Nya.”
”Dia telah ber-Hijrah kepada kamu, dan di dalam lingkungan kamu berada para isterinya dan para sahabatnya. Sesudah pihak Al Muhajirin, maka tiada suatu pihak pun mempunyai kedudukan tinggi seperti kamu. Kami adalah Umarak (Para Penguasa) dan kamu adalah Wuzarak (para Wazir). Kamu adalah tempat berunding dan tiada suatu keputusan pun tanpa kamu.”
Ketenangan sikap dan ketenangan bicara dari tokoh tua itu, yang dipanggilkan Tsaniu-Itsnain pada Gua-Al-Tsur itu, tiada sedikit kesan dan pengaruhnya bagi hadirin. Tetapi tidaklah, semuanya mampu membebaskan dirinya dari kepala panas. Pihak yang betul-betul kena pengaruh oleh pidato tokoh tua itu adalah sukubesar Auss. Akan tetapi beberapa tokoh terkemuka di dalam lingkungan sukubesar Khazraj masih memperdengarkan sanggahannya.
Hubab ibn Munzir dan Umar ibn Khattab
Hubab ibn Munzir Al Anshari, dari keluarga bani Salma, termasuk tokoh terkemuka dalam lingkungan sukubesar Khazraj. lapun cepat menangkis pidato Abubakar Al Shiddiq itu, yang menurut Tarikh-Al-Thabari, diantara lainnya berbunyi :’’Kamu, hai masyarakat Al Anshar, memegang tampuk kekuasaan di tangan kamu. Mereka itu berada di bawah lindungan kamu, di bawah naungan kamu. Tiada siapapun mampu membantah kenyataan itu. Semuanya tergantung pada pendirian kamu.”
’’Kamu pemilik kemuliaan dan kekayaan, berjumlah besar, tabah, berpengalaman, berkekuatan, berkemampuan. Mereka itu senantiasa'menyaksikan apa yang kamu lakukan.”
’’Jangan kamu sempat berbeda pendapat hingga kedudukan kamu lemah. Jikalau mereka itu enggan menerima kenyataan itu maka jalan satu-satunya ialah: Kami punya Emir dan kamu punya Emir!”
Pidato Hubab ibn Munzir Al Anshari itu cukup keras. Paling akhir memberikan jalan keluar bagi kemelut itu, yaitu: Perpecahan.!
Umar ibn Khattab sudah tidak mampu menahan diri saat itu dan lalu maju ke depan menangkis pidato itu, yang di antara lainnya menurut Tarikh-al-Thabari, berbunyi :
’’Tidak mungkin bahwa dua berada dalam satu tanduk. Allah niscaya akan tidak rela bahwa kamu memegang tampuk kekuasaan, sedangkan Nabi bukan dari lingkungan kamu. Bangsa Arab sendiri niscaya akan tidak enggan menerima pimpinan pihak, yang Nabi berada dari lingkungannya.”
”Itu adalah suatu kenyataan, yang merupakan alasan terkuat bagi setiap pihak yang menantang; Siapa yang menantang wewenang Muhammad dan kekuasaannya?”
’’Kami adalah para walinya dan keluarganya. Pihak yang mempertahankan kebatalan dan ingin membikin keonaran maka pihak itulah cuma yang ingin berkeras kepala !”
Tangkisan Umar ibn Khattab itu terlampau tajam dan keras. Tidaklah heran jikalau reaksi Hubab ibn Munzir AlAnshari lebih keras lagi, yang menurut Tarikh-al-Thabari, berbunyi :
’’Kamu, hai keluarga Al Anshar, kokohkan persatuan. Jangan dengarkan ucapannya dan sahabatnya. Kamu akan kehilangan hak pimpinan. Jikalau mereka itu tidak mau dengar terhadap apa yang kamu tuntut itu, maka usir mereka itu dari daerah ini. Kamu akan lantas menentukan segalanya.”
’’Kamu lebih berhak memegang pimpinan daripada mereka itu. Dengan kekuatan pedang kamu-lah berkembang Agama ini, dan tunduk seluruh bangsa Arab. Jikalau mereka itu tetap berkeras kepala, demi Allah, mari kita ulang kembali sejarah lama !”
Reaksi itu sangat keras sekali. Jalan keluar yang diberikan bukan lagi sekadar pembagian Kekuasaan akan tetapi Perang-Suku yang berkelanjutan menuruti tradisi tua.
Umar menangkis dejigan garang: ’’Allah akan membunuhmu!” Hubab menjawab lebih garang: ’’Engkau, yang akan dibunuh Allah!”