Syekh Muhammad Sa’id Bonjol
Di salah satu Pusat perjuangan Paderi (1803-1838), Bonjol, pernah pula menjadi pusat kajian Islam Tradisional Minangkabau yang masyhur namanya sampai akhir abad ke-20. Nama besar perguruan Islam Tradisional itu tak lain karena dedikasi dan ketenaran seorang ulama besar yang kharismatik di daerah ini. Ulama itu ialah Syekh Muhammad Sa’id Bonjol, terkenal pulalah beliau ini dengan panggilan “Imam Bonjol ke-II”.
Masih tertulis dengan rapi nama Syekh Muhammad Sa’id Bonjol ini dalam buku-buku sejarah tua tentang Islam di Minangkabau, karena beliaulah penganjurnya yang gigih dan konsisten dengan akidah dan amalan yang dianut. Nama beliau paling banyak disebut apabila dihubungkan dengan jami’ah (organisasi) ulama-ulama Tua Minangkabau, PERTI, sebagai salah seorang sesepuh yang dihormati, teman seperjuangan Inyiak Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung. Organisasi Kaum Tua ini terkenallah sebagai wadah persatuan Ulama-ulama besar yang setia terhadap Mazhab Syafi’i dalam Fiqih, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam berakidah dan memakai salah satu Tarekat Mu’tabarah sebagai bentuk pengamalan terhadap Tasawwuf sunni. Maka Syekh Sa’id merupakan salah satu tokoh yang tidak bisa dikesampingkan dalam perkumpulan ini.
Syekh Muhammad Sa’id dilahirkan pada tahun 1881. tidak tercatat lagi masa kecil beliau. Namun dapat diduga bahwa beliau di masa-masa umur puluhan tahun mengaji ala surau Minangkabau di daerah kelahirannya, Bonjol. Dasar-dasar keilmuan surau inilah yang memotivasinya untuk belajar ke tanah suci Mekkah dikemudian harinya, sebagai halnya ulama-ulama besar yang sebaya dengan beliau, sampai masyhurnya beliau sebagai Ulama besar.
Selain ilmu-ilmu Syariat yang dipelajari beliau secara bertalaqqi sejak dari Surau sampai ke Mekah al-Mukarramah, beliaupun istimewa dalam ilmu Tarekat dan Hakikat, sehingga terkenallah Syekh Sa’id sebagai salah seorang mursyid dan syekh dari Tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Dari karena keistimewaan beliau dalam bidang Tasawwuf ini, Syekh Sa’id menjadi tokoh besar dalam mengurus bidang Tarekat Sufiyah dalam organisasi PERTI, setelah Syekh Abdul Wahid Beliau Tabek Gadang, Syekh Arifin Batu Hampar dan Syekh Muda Abdul Qadim Belubus Payakumbuh wafat. Tercatat bahwa beliau menjadi salah satu Ulama yang mengikuti Konferensi Tarekat Naqsyabandiyah di Bukittinggi pada tahun 1954, dalam membahas karangan-karangan Haji Djalaluddin (sebagai tersebut dalam Tablighul Amanah).
Syekh Sa’id mengambil Tarekat Naqsyabandiyah dari yang Mulia Syekh Ibrahim Kumpulan (1764-1914), yang masyhur namanya dengan “Angguik Balinduang Kumpulan”. Keberhasilan beliau dalam Tarekat Naqsyabandiyah menyebabkan beliau diangkat sebagai khalifah Syekh Ibrahim Kumpulan. Dikarenakan begitu taatnya beliau kepada Allah sehingga beliau mendapat Karunia Allah di dalam mengerjakan khalwat. Diceritakan dalam mengerjakan Suluk di Bulan Ramadhan beliau beroleh Karomah. Seketika mengambil wadhu’ di Malam Hari, Sorban beliau dilarikan Pohon kelapa yang rebah, sebab sebelumnya beliau meletakkan kain sorban beliau di pohon kelapa rebah itu sebelum berwudhu’.
Kedalaman ilmu beliau dalam bidang Syari’at, ditambah dengan paham yang matang dalam Tarekat, membuat Syekh Sa’id terkenal sebagai Ulama yang disegani oleh kawan maupun lawan. Tidak berapa lama setelah menamatkan kaji, Syekh Sa’id tidak perlu menunggu lama untuk membangun sebuah tempat pendidikan Tradisional sebagai tempat untuk mengamalkan ilmu yang telah berpuluh tahun dituntutnya. Baru saja beliau kembali ke kampung halamannya, para pelajar telah berbondong-bondong menuju Bonjol untuk bertalaqqi dan berkhitmat kepada Syekh Sa’id Bonjol. Masih teringat dan terkenang oleh para murid beliau yang sekarang berada dalam usia tua, ratusan orang siak mengaji siang dan malam, melafazhkan kitab kuning, berbai’at dalam Tarekat Naqsyabandiyah, di tempat Syekh Said yang sekarang telah disulap menjadi Mesjid Syekh Sa’id Bonjol.
Begitu halnya yang berlaku selama puluhan tahun, mengaji dan bersuluk menjadi aktivitas rutin di Surau Syekh Sa’id. Kemasyhuran Beliau, menjadi bau harum semerbak yang mengundang para penuntut ilmu dari daerah-daerah yang jauh, bukan hanya di kawasan Bonjol. Tercatat murid-murid beliau berasal dari Payakumbuh, Agam, Lubuk Sikaping bahkan dari Sumatera Utara. Keramaian pelajar itu bertahan sampai masa berpulang kerahmatullah Syekh Sa’id di tahun 1979 dalam usia 98 tahun. beliau kemudian dimakamkan di Mihrab Mesjid beliau, seperti ulama-ulama besar lain, makam beliau dihiasi dengan Kelambu putih, sebagai hormat dan setia kepada Imam Bonjol ke-II, Syekh Haji Muhammad Sa’id.
Seperti yang terjadi dengan ulama-ulama besar lainnya, pepatah orang-orang tua berlaku pula pada pribadi Syekh Sa’id. Ibarat kelapa condong, batangnya di tanah kita, namun buahnya jauh ke tanah orang lain. Murid-murid Syekh Sa’id yang seharusnya menjadi pengganti beliau bukanlah orang-orang Bonjol maupun keturunannya, tapi banyak di luar Bonjol. Maka tinggallah Makam dan Mesjid Syekh Sa’id, bukan lagi diurus dan dilanjutkan oleh para murid. Masih kita syukuri tradisi dan ajaran yang beliau anut tetap dipegang erat-erat oleh masyarakat Bonjol umumnya.
2. Mesjid Syekh Muhammad Sa’id Bonjol : Kedudukan dan Pengaruhnya
Suasana yang masih asri, begitulah jika kita memasuki kawasan mesjid Syekh Muhammad Sa’id Bonjol. Gaya arsitek lama, tata ruang yang sangat klasik dan amalan-amalan masyarakat di Mesjid ini yang masih seperti dulu menambah kekhasan Mesjid yang di desain di awal abad 20 itu.
Mesjid Syekh Sa’id di pagari oleh tembok setinggi 2 meter di keempat penjurunya, sehingga dari pekarangan mesjid kita tak bisa melihat jalanan aspal di depan komplek mesjid ini. Memasuki pekarangan, kita akan memasuki pintu yang cukup besar pada pagar tembok. Dengan halaman yang telah bersemen, Mesjid akan tampak tegar walaupun dengan usia yang lebih setengah abad. Mesjid tersebut memiliki satu Kubah besar, dan dua kubah kecil di kanan kirinya. Memasuki ruangan Mesjid kita akan menemui akan tangga yang berciri khas di depan pintu masuk. Tangga tersebut menghubungkan lantai dasar dengan loteng (minang : pagu), di loteng itu sendiri terdapat ruangan khusus, dan di atas itu lagi ada ruangan lagi.
Ruangan tertata dengan gaya lama, selain tonggak-tonggak semen bercampur kayu, mimbarnya pun sangat antik, berjenjang dari depan sehingga kalau khatib naik mimbar akan melangkah dan berdiri di jenjang-jenjang bertikar beludru itu. Sebagai hijab antara laki-laki dan perempuan terdapat kain berwarna biru, tertutup rapat, sehingga memang laki-laki tak bisa memasuki tempat shalat wanita di Mesjid tersebut.
Di sekitar mesjidpun masih berdiri bangunan-bangunan tua, bekas kejayaan dimasa lalu. Tepat sebelah kanan mesjid terdapat kran-kran tempat berwudhu’ laki-laki. Besebelahan dengan tempat berwudhu’ itu terdapat sebuah bangunan kayu yang dibangun diatas kolam yang cukup luas. Persis di belakang Mihrab mesjid terdapat ruangan makam Syekh Muhammad Sa’id dengan kelambu putih. Dibelakang makam tersebut, terdapat lagi sebuah ruangan khusus, dengan satu bilik sebagai tempat peninggalan benda-benda syekh, seperti jubah, sorban dan kitab-kitab. Di sebelah kiri mesjid terdapat lagi 2 buah bangunan yang terbuat dari kayu. Menurut keterangan yang ada bahwa ruangan-ruangan itu merupakan tempat para santri dahulunya menuntut ilmu.
Bila masuk waktu shalat jum’at, maka suasananya pun akan sangat terasa lain, sebab memang tak biasa sebagaimana yang dialami oleh orang-orang modern saat ini. Di Mesjid inilah kita menyaksikan amalan tradisional yang masih kental, belum pudar di hanyutkan modernisasi dan Tajdid. Sebab Minangkabau sedari dulunya kuat menganut mazhab syafi’i, maka pengamalan jum’atnya sarat dengan amalan pekah Syafi’iyyah. Sebelum jum’at, beduk di pukul 2 kali berselang sekitar setengah jam. kemudian azan dilakukan dua kali .
Suatu yang unik dari pelaksanaan azan di Mesjid Syekh Sa’id ini, azan pertamanya bersahut-sahutan antara satu muazzin dengan muazzin yang satunya, yang satu berdiri di Mihrab mesjid, sedang satunya lagi berdiri ditangga menuju ruangan atas. Apabila muazzin pertama yang berada di Mihrab azan dengan kalimat Allahu Akbar, maka disahut oleh muazzin kedua dengan kalimat yang sama setelah bacaan muazzin pertama selesai. Begitu seterusnya, sampai pada kalimat la ilaha illallahu baru dibaca bersama-sama oleh kedua muazzin tersebut. Kesyahduan irama yang dihasilkan menambah khitmat pelaksanaan jum’at, ditambah dengan suasana yang hening ala orang-orang tradisional, yang mungkin jarang kita kemui sekarang.
Setelah azan dilantunkan, kemudian para jama’ah yang telah memenuhi mesjid berdiri untuk melaksanakan shalat sunat Qabliyah jum’at. Setelah itu baru khatib naik mimbar dengan setelan sorban, syal di pundak dan bersarung, tak lupa dengan tongkat ditangan kanan. Sesudah salam dilaksanakan azan yang kedua, namun tidak seperti azan pertama, azan ini dilakukan oleh muazzin seorang tanpa bersahut-sahutan.
Khatib berdiri setelah kumandang azan, dan mulai membaca khotbah dengan bahasa Arab. Ada suatu yang aneh, walaupun dengan khutbah bahasa Arab namun khitmatnya beribadah lebih terasa dibanding dengan khutbah yang diucapkan dengan bahasa Indonesia, dengan uraian yang panjang. Dalam sejarah kita baca, bahwa pelaksanaan khutbah di Minangkabau dulunya memang dilakukan bahasa Arab, dapat dinyatakan sejak masuknya Islam itu sendiri. Baru di awal abad ke-20 dimulai khutbah dalam bahasa Indonesia oleh ulama-ulama yang kebanyakannya berfaham muda. Diantara ulama yang memulai perubahan bahasa khutbah itu ialah Syekh Muhammad Thayyib Umar Sungayang Tanah Datar (wafat 1920) dan Syekh Muhammad Djamil Djambek Bukittinggi (wafat 1947). Selanjutnya melihat keadaan masyarakat yang dari masa kemasa mulai kurang memahami bahasa Arab, perubahan khutbah inipun dilakukan pula oleh kaum Tua, dengan konsekwensi rukun khutbah mesti berbahasa Arab. Walaupun perubahan itu telah hampir seabad lalu di mulai, namun masih ada diantara ulama-ulama yang mempertahankan tradisi khutbah dengan bahasa Arab sebagai sediakalanya, tentu dengan dalil dan hujjah yang kuat pula. Maka Mesjid Syekh Sa’id ini termasuk kelompok yang masih memakai paham lama, ketika belum ada yang namanya modernisasi.
Pelaksanaan khutbah sendiri di Mesjid Syekh Sa’id dalam waktu yang relatif pendek, kira-kira kurang dari 10 menit. Sewaktu khatib duduk di antara dua khutbah, bilal membaca dengan jahar beberapa ayat al-Qur’an dan Shalawat. Setelah itu, shalat dilakukan dengan imam tersendiri, bukan khatib. Pelaksaan shalatpun sangat kental dengan fiqih syafi’iyyah sebagai halnya dilakukan di- derah-daerah lainnya, menjaharkan bacaan basmallah dan membaca surat juga diawali basmallah. Selesai shalat berdo’a bersama sebagaimana yang lazimnya. Setelah itu, khusus bagi jama’ah tharekat Naqsyabandi tetap di dalam Mesjid ketika masyarakat lain pulang. Kemudian pintu ditutup, untuk melaksanakan Tawajjuh, sebuah amalan zikir dalam tharekat Naqsyabandiyah.
Suatu yang unik lainnya ditemui, diwaktu pelaksanaan jum’at juga diikuti oleh kaum hawa untuk mendengarkan khutbah. Memang tak lazim bagi orang-orang sekarang, namun indikasi yang menunjukkan bahwa amalan seperti ini pernah banyak dilakukan di Minangkabau khususnya. Dan lagi jika ditelisik dari fiqih, sunnat pula hukumnya perempuan mengikuti jum’at. Begitu seharusnya, namun tak banyak masyarakat masa kini yang mengetahui.
Begitulah eksistensi Mesjid Syekh Sa’id dalam menjaga tradisi dan amalan yang telah dibangun pondasinya oleh ulama Besar Syekh H. Muhammad Sa’id Bonjol. Dengan demikian, besar pula pengaruh eksisnya Mesjid bagi masyarakat sekitarnya dalam menumbuhkan sikap konsekwen dalam beamal ibadah, sebagaimana dibawa oleh ulama-ulama besar pendahulu kita, jauh dari pendangkalan keilmuan dan amalan yang dibawa oleh kaum modern.
Mesjid Syekh Sa’id di pagari oleh tembok setinggi 2 meter di keempat penjurunya, sehingga dari pekarangan mesjid kita tak bisa melihat jalanan aspal di depan komplek mesjid ini. Memasuki pekarangan, kita akan memasuki pintu yang cukup besar pada pagar tembok. Dengan halaman yang telah bersemen, Mesjid akan tampak tegar walaupun dengan usia yang lebih setengah abad. Mesjid tersebut memiliki satu Kubah besar, dan dua kubah kecil di kanan kirinya. Memasuki ruangan Mesjid kita akan menemui akan tangga yang berciri khas di depan pintu masuk. Tangga tersebut menghubungkan lantai dasar dengan loteng (minang : pagu), di loteng itu sendiri terdapat ruangan khusus, dan di atas itu lagi ada ruangan lagi.
Ruangan tertata dengan gaya lama, selain tonggak-tonggak semen bercampur kayu, mimbarnya pun sangat antik, berjenjang dari depan sehingga kalau khatib naik mimbar akan melangkah dan berdiri di jenjang-jenjang bertikar beludru itu. Sebagai hijab antara laki-laki dan perempuan terdapat kain berwarna biru, tertutup rapat, sehingga memang laki-laki tak bisa memasuki tempat shalat wanita di Mesjid tersebut.
Di sekitar mesjidpun masih berdiri bangunan-bangunan tua, bekas kejayaan dimasa lalu. Tepat sebelah kanan mesjid terdapat kran-kran tempat berwudhu’ laki-laki. Besebelahan dengan tempat berwudhu’ itu terdapat sebuah bangunan kayu yang dibangun diatas kolam yang cukup luas. Persis di belakang Mihrab mesjid terdapat ruangan makam Syekh Muhammad Sa’id dengan kelambu putih. Dibelakang makam tersebut, terdapat lagi sebuah ruangan khusus, dengan satu bilik sebagai tempat peninggalan benda-benda syekh, seperti jubah, sorban dan kitab-kitab. Di sebelah kiri mesjid terdapat lagi 2 buah bangunan yang terbuat dari kayu. Menurut keterangan yang ada bahwa ruangan-ruangan itu merupakan tempat para santri dahulunya menuntut ilmu.
Bila masuk waktu shalat jum’at, maka suasananya pun akan sangat terasa lain, sebab memang tak biasa sebagaimana yang dialami oleh orang-orang modern saat ini. Di Mesjid inilah kita menyaksikan amalan tradisional yang masih kental, belum pudar di hanyutkan modernisasi dan Tajdid. Sebab Minangkabau sedari dulunya kuat menganut mazhab syafi’i, maka pengamalan jum’atnya sarat dengan amalan pekah Syafi’iyyah. Sebelum jum’at, beduk di pukul 2 kali berselang sekitar setengah jam. kemudian azan dilakukan dua kali .
Suatu yang unik dari pelaksanaan azan di Mesjid Syekh Sa’id ini, azan pertamanya bersahut-sahutan antara satu muazzin dengan muazzin yang satunya, yang satu berdiri di Mihrab mesjid, sedang satunya lagi berdiri ditangga menuju ruangan atas. Apabila muazzin pertama yang berada di Mihrab azan dengan kalimat Allahu Akbar, maka disahut oleh muazzin kedua dengan kalimat yang sama setelah bacaan muazzin pertama selesai. Begitu seterusnya, sampai pada kalimat la ilaha illallahu baru dibaca bersama-sama oleh kedua muazzin tersebut. Kesyahduan irama yang dihasilkan menambah khitmat pelaksanaan jum’at, ditambah dengan suasana yang hening ala orang-orang tradisional, yang mungkin jarang kita kemui sekarang.
Setelah azan dilantunkan, kemudian para jama’ah yang telah memenuhi mesjid berdiri untuk melaksanakan shalat sunat Qabliyah jum’at. Setelah itu baru khatib naik mimbar dengan setelan sorban, syal di pundak dan bersarung, tak lupa dengan tongkat ditangan kanan. Sesudah salam dilaksanakan azan yang kedua, namun tidak seperti azan pertama, azan ini dilakukan oleh muazzin seorang tanpa bersahut-sahutan.
Khatib berdiri setelah kumandang azan, dan mulai membaca khotbah dengan bahasa Arab. Ada suatu yang aneh, walaupun dengan khutbah bahasa Arab namun khitmatnya beribadah lebih terasa dibanding dengan khutbah yang diucapkan dengan bahasa Indonesia, dengan uraian yang panjang. Dalam sejarah kita baca, bahwa pelaksanaan khutbah di Minangkabau dulunya memang dilakukan bahasa Arab, dapat dinyatakan sejak masuknya Islam itu sendiri. Baru di awal abad ke-20 dimulai khutbah dalam bahasa Indonesia oleh ulama-ulama yang kebanyakannya berfaham muda. Diantara ulama yang memulai perubahan bahasa khutbah itu ialah Syekh Muhammad Thayyib Umar Sungayang Tanah Datar (wafat 1920) dan Syekh Muhammad Djamil Djambek Bukittinggi (wafat 1947). Selanjutnya melihat keadaan masyarakat yang dari masa kemasa mulai kurang memahami bahasa Arab, perubahan khutbah inipun dilakukan pula oleh kaum Tua, dengan konsekwensi rukun khutbah mesti berbahasa Arab. Walaupun perubahan itu telah hampir seabad lalu di mulai, namun masih ada diantara ulama-ulama yang mempertahankan tradisi khutbah dengan bahasa Arab sebagai sediakalanya, tentu dengan dalil dan hujjah yang kuat pula. Maka Mesjid Syekh Sa’id ini termasuk kelompok yang masih memakai paham lama, ketika belum ada yang namanya modernisasi.
Pelaksanaan khutbah sendiri di Mesjid Syekh Sa’id dalam waktu yang relatif pendek, kira-kira kurang dari 10 menit. Sewaktu khatib duduk di antara dua khutbah, bilal membaca dengan jahar beberapa ayat al-Qur’an dan Shalawat. Setelah itu, shalat dilakukan dengan imam tersendiri, bukan khatib. Pelaksaan shalatpun sangat kental dengan fiqih syafi’iyyah sebagai halnya dilakukan di- derah-daerah lainnya, menjaharkan bacaan basmallah dan membaca surat juga diawali basmallah. Selesai shalat berdo’a bersama sebagaimana yang lazimnya. Setelah itu, khusus bagi jama’ah tharekat Naqsyabandi tetap di dalam Mesjid ketika masyarakat lain pulang. Kemudian pintu ditutup, untuk melaksanakan Tawajjuh, sebuah amalan zikir dalam tharekat Naqsyabandiyah.
Suatu yang unik lainnya ditemui, diwaktu pelaksanaan jum’at juga diikuti oleh kaum hawa untuk mendengarkan khutbah. Memang tak lazim bagi orang-orang sekarang, namun indikasi yang menunjukkan bahwa amalan seperti ini pernah banyak dilakukan di Minangkabau khususnya. Dan lagi jika ditelisik dari fiqih, sunnat pula hukumnya perempuan mengikuti jum’at. Begitu seharusnya, namun tak banyak masyarakat masa kini yang mengetahui.
Begitulah eksistensi Mesjid Syekh Sa’id dalam menjaga tradisi dan amalan yang telah dibangun pondasinya oleh ulama Besar Syekh H. Muhammad Sa’id Bonjol. Dengan demikian, besar pula pengaruh eksisnya Mesjid bagi masyarakat sekitarnya dalam menumbuhkan sikap konsekwen dalam beamal ibadah, sebagaimana dibawa oleh ulama-ulama besar pendahulu kita, jauh dari pendangkalan keilmuan dan amalan yang dibawa oleh kaum modern.