MENUNDUKKAN DIRI SENDIRI

MENUNDUKKAN DIRI SENDIRI
Sesungguhnya, tak ada suatu apa pun, kecuali Allah. Dirimu merupakan suatu tandanya. Sifat egois manusia adalah bertentangan dengan Allah. Padahal, segala sesuatu yang ada harus patuh dan taat kepada Allah karena semuanya pada hakikatnya adalah milik-Nya. Demikian juga manusia sebagai makhluk sekaligus milik-Nya. Sifat egois manusia itu pongah, darinya, timbul dambaan-dambaan palsu. Oleh karena itu, jika engkau menyatu dengan kebenaran dan mampu menundukkan dirimu sendiri, kau menjadi milik Allah dan akan menjadi musuh dirimu sendiri. Allah Ta'ala berfirman kepada Nabi Daud a.s., "Wahai Daud, Aku-lah tujuan hidupmu, yang tak mungkin dapat kau hindari. Oleh karena itu, berpegang teguhlah kepada tujuan yang satu ini, yaitu beribadahlah dengan sebenar-benarnya, sampai kau menjadi lawan dirimu sendiri, semata-mata karena aku!"
Apabila tidak mementingkan dirimu dan mampu menundukkan egoismu, engkau akan menjadi akrab dan dekat dengan Allah SWT. Engkau akan mendapatkan bagianmu yang suci, yang sangat menyenangkan rohaniahmu. Kalau demikian, engkau akan dicintai dan mulia. Segala sesuatu tunduk dan patuh kepadamu, takut kepadamu, karena pada dasarnya semua tunduk kepada Tuhan mereka, selaras dengannya karena Dia-lah yang menciptakan mereka, dan mereka adalah hamba yang mengabdi kepada-Nya. Allah SWT. berfirman:

Artinya:
"Bertasbih (patuh) kepada-Nya langit yang tujuh dan bumi, serta apa-apa yang ada di dalamnya. Tiada suatu (makhluk), melainkan patuh serta memuja-Nya, tetapi kamu tiada mengerti tasbih mereka itu. Sesungguhnya Dia Penyantun dan Pengampun."
(Q.S. Al-Isra [17]: 44)

Segala sesuatu yang ada di jagat raya ini menyadari keridaan-Nya dan menaati perintah-perintah-Nya. Allah Mahakuasa lagi Mahaagung. Hanya saja, kita tidak mengetahui bagaimana makhluk lain bertasbih kepada-Nya. Allah SWT. berfirman:

Artinya:
"Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepada langit dan bumi, 'Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku baik dengan suka atau terpaksa.' Keduanya menjawab, 'Kami datang dengan patuh." (Q.S. Fushshilat [41]: 11)
Dengan demikian, dapat kita tarik kesimpulan bahwa bumi dan langit serta seisinya patuh kepada Allah, menurut segala kehendak-Nya, tidak berjalan sendiri atas kehendak pribadinya. Firman-Nya:



Artinya:

Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
(Q.S. Shad: 26)
Allah SWT. juga berfirman, "Hindarilah hawa nafsumu karena sesungguhnya tak ada suatu pun menentang-Ku di seluruh kerajaan-Ku, kecuali nafsu jasmani manusia."
Diceritakan bahwa suatu ketika Abu Yazid Al-Bustami bermimpi dan dalam mimpinya ia seolah-olah berjumpa dengan Allah. Ia bertanya kepada-Nya, "Wahai Allah, bagaimana caranya agar aku dapat menjumpai-Mu?" "Buanglah keakuanmu (egois yang mementingkan diri sendiri) dan berpalinglah kepada-Ku!" kata Allah dalam mimpi Al-Bustami. Lalu Al-Bustami berkata, "Aku keluar dari diriku bagaikan seekor ular yang keluar dari selongsong tubuhnya."
Jadi, kebaikan itu bergantung pada cara kita memerangi diri sendiri dalam segala hal. Karena, diri sendiri itu menyimpan nafsu yang buruk dan merusak, serta jasad yang kotor.
Jika engkau berada pada derajat kesalehan, hendaklah engkau pun mampu memerangi dirimu sendiri sampai kau terbebas dari hal-hal terlarang dan syubhat (halal atau haram yang diragukan). Bebaskan dirimu dari pengharapan mereka, pengaruh mereka, dan keinginan untuk mendapatkan duniawi. Jangan pula engkau mengharapkan pemberian hadiah, kemurahan, atau sedekah, serta fasilitas lainnya dari orang lain. Misalnya, jika engkau bergaul dengan orang kaya, janganlah mengharap kematiannya agar engkau mendapatkan warisannya.
Bebaskanlah dirimu dari ikatan makhluk dan anggaplah mereka sebagai pintu gerbang yang dapat membuka dan menutup atau pohon yang suatu ketika berbuah dan pada musim lain gugur daunnya. Ketahuilah, keadaan alam dunia ini adalah pasang dan surut, kadang di atas dan kadang di bawah hanya karena adanya suatu pelaksanaan dan satu perancang. Yang merancang dan melaksanakan adalah Allah atas segala kekuasaan-Nya. Akan tetapi, jangan pula engkau melupakan upaya dan usaha manusiawi agar tidak menjadi korban keyakinan kaum fatalis (Jabarriyyah). Engkau harus menghargai upaya manusiawi, tetapi jangan melupakan atas keyakinan bahwa segala sesuatu dapat terjadi hanya karena kehendak Allah SWT.
Manusia hanya sebatas berikhtiar dan ketentuan Allah-lah yang berhak. Oleh karena itu, jangan mengagung-agungkan jerih payah manusiawi dan jangan menghargai upaya manusiawi secara berlebihan agar engkau tidak lupa bahwa segala sesuatu itu atas kehendak Allah SWT. Hendaknya engkau tanamkan dalam hati bahwa segala jerih payah makhluk itu adalah milik Allah, Dia-lah yang menggerakkan dengan tangan kekuasaan-Nya.
Laksanakan perintah Allah yang berkenaan dengan mereka bermasyarakat dan pisahkanlah dirimu dari mereka atas dasar perintah Allah juga. Jangan melampaui batas ini sebab hukum Allah adalah pasti, yang akan menentukan dirimu dan menentukan mereka. Janganlah menjadi penentu dan memastikan nasib diri sendiri. Sesungguhnya, kemajuanmu dan mereka karena takdir-Nya. Adapun takdir Allah itu merupakan suatu rahasia, suatu hal yang gelap. Masukilah kegelapan itu dengan membawa pelita yang sekaligus penentu. Pelita, yang kumaksud tak lain adalah Al- Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Jangan sekali-kali meninggalkan keduanya. Jika suatu ketika engkau mendapat ilham atau dalam pikiranmu terlintas suatu gagasan baik, sesuaikan den cocokkan dengan Al-Quran dan Al-Hadis.
Seandainya gagasan yang terlintas dalam benakmu atau jalan pikiranmu itu tidak sesuai dengan Sunnah Rasul dan ayat-ayat Al-Quran, bahkan bertentangan, hendaknya engkau membuang jauh-jauh gagasan itu. Hindarilah jalan pikiran atau gagasan tersebut karena sesungguhnya hal itu hanya menyesatkan dirimu saja. Percayalah, gagasan yang terlintas dalam benakmu, jika bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah Rasul SAW., datangnya dari setan. Setan berusaha menjerumuskan dirimu. Akan tetapi, jika gagasanmu atau jalan pikiranmu itu sejalan dengan ayat Al-Quran dan Sunnah Rasul, hendaklah engkau pakai dalam menapaki kehidupan beribadah. Barangkali, gagasan yang terlintas dalam pikiranmu adalah sebuah ilham dari Allah SWT.
Namun, jika gagasan itu sesuai dengan ayat Al-Quran dan Sunnah Rasul SAW., tetapi sifatnya menyuburkan nafsu hewani, sebaiknya engkau jauhi. Misalnya, kebolehan tentang makan, minum, cara berpakaian, menikah, dan sebagainya. Ketahuilah, jika engkau turutkan secara berlebihan, meskipun diperbolehkan, hal itu merupakan nafsu hewani. Ia akan subur jika kau biarkan menjadi-jadi.
Misalnya, suatu ketika dalam hatimu mendapat bisikan sesuatu yang tak kau pahami dan hal itu dalam Al-Quran dan Al-Hadis tidak dilarang dan tak diperbolehkan (tak ada hukum dari keduanya) maka tangguhkan dulu. Jangan menerima ilham atau lintasan hati semacam itu. Contoh lain, apabila dalam benakmu atau mimpimu, engkau diminta untuk pergi ke suatu tempat tertentu atau menemui seseorang yang saleh, kau tak perlu pergi ke tempatnya. Bersabarlah, tunda dulu permintaan dan dorongan itu, lebih baik kau bertanya pada diri sendiri, apakah yang datang dan terlintas dalam hatimu itu benar-benar merupakan ilham dari Allah dan apakah harus dilaksanakan? Adalah Sunnah Allah untuk mengulang-ulangi ilham semacam itu. Hal itu juga memerintahkan kepadamu agar engkau berusaha menemukan jawabannya. Kau boleh datang kepada para wali atau ahli hikmah untuk menanyakan hal itu.
Apabila engkau bersabar atas suatu ilham, Allah sendiri yang kemudian melakukannya bagimu. Engkau akan digerakkan atas kekuasaan-Nya. Lalu kau akan diantarkan ke maqam (tempat) itu. Apabila dalam suatu perjalanan, engkau menemui suatu ujian, engkau pasti dapat melewatinya dengan selamat. Mengapa demikian? Karena Allah tak akan menghukummu atas tindakanmu yang dia sendiri yang menghendaki-Nya.
Ketahuilah, bahwasanya menaati perintah itu meliputi dua perkara. Pertama, mencari sarana duniawi dalam kebutuhan sehari-hari sebatas keperluan saja. Jangan mengupayakan duniawi secara berlebihan. Jangan menuruti kehendak dan kemauan demi memuaskan jasmani saja. Selesaikan tugasmu dalam kaitannya dengan kehidupan. Lalu ikatlah nafsumu dari dosa-dosa yang akan menjebakmu.
Kedua, yaitu berhubungan dengan perintah-perintah yang tersembunyi. Misalnya, Allah tidak memerintahkan hamba-Nya untuk mengerjakan sesuatu, tetapi juga tidak melarangnya. Perintah ini ditinjau dari hukum ialah tak ada kejelasan, dan hal ini disebut mubah. Dalam masalah ini, engkau tak boleh mengambil tindakan atas inisiatif nafsumu. Namun, hendaknya engkau menunggu perintah. Jika Allah memerintahkan, rohaniahmu akan menggerakkan dirimu untuk mengerjakannya. Jika Allah tidak berkehendak, rohaniahmu tidak akan mendorongmu untuk melakukannya.
Dapatlah disimpulkan bahwa jika ada kejelasan hukumnya, engkau harus bertindak sesuai dengan hukum tersebut (Al-Quran dan Sunnah). Jika hukumnya tidak jelas, engkau harus bertindak atas dasar perintah tersembunyi. Diam menunggu dorongan rohani yang digerakkan Allah SWT.
Dengan cara demikian, niscaya engkau akan memiliki keteguhan sebagaimana yang didapatkan oleh ahli hakikat. Jika engkau sampai pada hakikat kebenaran yang disebut mahwu (pencelupan) atau fana (peleburan), berarti engkau telah mencapai maqam badal, yaitu hati yang sepenuhnya dan demi kepentingan apa pun telah kau sandarkan kepada-Nya. Keadaan ini dirasakan dan dimiliki oleh orang yang nuraninya mendapatkan nur, orang muwahid, orang arif, dan mereka adalah amir dari pimpinan, pengawas, dan pelindung umat. Yang demikian itu, termasuk khalifah Allah SWT.
Untuk menaati perintah secara benar, engkau harus dapat mengalahkan dirimu sendiri (nafsu-nafsumu yang di luar ruh). Lalu, kau bebaskan dari beban ketergantungan dan kekuatan atas segala hal kecuali hanya kepada Allah. Kalau demikian, engkau menjadi hamba Allah yang sebenar-benarnya. Engkau telah menjadi abadi-Nya, bukan abdi ciptaan-Nya dan bukan pula hamba dari hamba-Nya. terhadap Allah, engkau laksana bayi dalam gendongan sang dukun beranak, yang mengikuti segala kehendak dan kemauan tanpa mampu melawan atau menolak.

Sebelumnya                                                                                                       Selanjutnya