PERGERAKAN PASUKAN KHALID IBN WALID
Perikeadaan sukubesar Thai
Khalid ibn Walid dengan pasukannya dianjurkan Khalif Abubakar supaya lebih dahulu menuju wilayah kediaman sukubesar Thai, bagian tengah sebelah timurlaut Khaibar, dan kemudian baharulah menuju pusat kedudukan dan ketentaraan Thu-laihah ibn Khuwailid Al Asadi di Bazakha.
Bagian terbesar dari suku Thai itu telah belot mengikut Thulaihah Al Asadi dan sebagian kecil saja masih teguh keimanannya. Kepala suku-besar itu, marhum Hatim-al-Thai, amat harum sekali namanya dalam kalangan bangsa Arab karena kedermawanannya hingga menimbulkan pameo ’’sidermawan Hatim.” Ia meninggal pada tahun 605 M yakni lima tahun sebelum Nabi Muhammad bermula mengembangkan agama Islam di Mekkah.
Sewaktu pasukan Islam menundukkan sukubesar Thai itu pada masa Nabi Besar Muhammad maka puterinya, Saffanah binti Hatim, kena tawan; dan puteranya, Adiya ibn Hatim, sempat meluputkan diri ke Syria dan memeluk agama Nasrani di situ. Mengingat kedudukan bapanya pada mata bangsa Arab maka puterinya itu dimerdekakan dan diberi perbekalan dan perbelanjaan secukupnya untuk pergi menjumpai saudaranya di Syria, mengikuti sebuah kafilah dagang. Ia bercerita tentang si-pat-sipat Nabi Muhammad hingga Adiya ibn Hatim itu bagaikan kena tarikan yang tiada tertahan-tahan hingga dia dan adiknya itu datang ke Madinah menjumpai Nabi Besar Muhammad dan keduanya lalu memeluk agama Islam. Peristiwa itu pada tahun 9 H/631 M.
Adiya menaruh kasihan atas bencana perang yang bakal menimpa sukubesar Thai itu. Iapun mengajukan saran kepada Khalif Abubakar dan sarannya itu diterima. Ia akan berangkat lebih dahulu dan baharulah Khalid menyusul dengan pasukannya. Ia akan berikhtiar melakukan pendekatan terhadap ketua-ketua suku di dalam lingkungan sukubesar Thai itu.
Pasukan berangkat menuju Khaibar dan Fedak dan melintasi pegunungan Abba dan berkemah pada perbatasan wilayah Nofud. Adiya dengan pasukan kecil maju untuk menjumpai ketua-ketua suku Thai dan berikhtiar menginsafkannya kembali. Mereka itu minta tempo tiga hari untuk dapat menghubungi kawan-kawannya yang sudah menggabungkan diri dengan Thu-laihah ibn Khuwailid itu. Adiya ibn Hatim pulang kembali ke perkemahan pasukan dan melaporkannya kepada Panglima Khalid ibn Walid. Tiga hari kemudian datanglah ketua-ketua suku Thai itu dan Panglima Khalid mengambil Bai’ah mereka itu.
Pasukan itu berangkat memasuki wilayah Nofud menuju Jadila, sebuah wilayah dataran tinggi, didiami sebagian sukubesar Thai itu. Adiya ibn Hatim dengan pasukan kecil maju kemb^U untuk berunding. Ia pulang kembali menjumpai Panglima Khalid sambil membawa 1.000 orang pasukan berkuda yang rela menggabungkan diri kembali ke dalam pasukan Islam. Memeka itu pu-tera-putera terbaik dari sukubesar Thai yang sangat berjasa di dalam pengembangan kekuasaan Islam pada masa-masa selanjutnya. Sejarah amat mencatat jasa-jasa yang disumbangkan Adiya ibn Hatim itu bagi menghindarkan bencana perang, yang akan menimbulkan korban besar pada pihak pasukan Islam, dan sebaliknya merupakan malapetaka bagi sukubesar Thai sendiri.
KHAIBAR : Reruntuhan kota-benteng Khaibar, yang dikepung dan diserbu pasukan Islam di bawah pimpinan Nabi Besar Muhammad pada tahun 9 H/ 631 M, dipertahankan Yahudi Khaibar, tapi berhasil direbut dan dikuasai.
Panglima Khalid telah beroleh tambahan kekuatan tempur dan memutar haluan dalam wilayah Nofud arah ke tenggara, dan melintasi rangkaian pegunungan Abba itu kembali, memasuki dataran tinggi tempat kediaman sukubesar Asad dan Ghat-fan dan Murra dan Fezara yang telah menggabungkan diri dengan Thulaihah ibn Khuwailid. Khalid langsung menuju pusat kedudukan dan ketentaraannya di Bazakha.
Khalid mengirimkan perutusan bagi menyampaikan pengumuman (al-Mansyurat) dari Khalif Abubakar itu. Perutusan itu disambut dengan cemooh. Pada akhirnya pecahlah pertempuran yang sengit.
Pada saat-saat pertempuran itulah kepala sukubesar Ghat-fan, Uyainah ibn Hashan, berulangkah bertanya kepada Thulaihah ibn Khuwailid : ’’Apakah Jibril sudah datang kepada anda?” (Hal-ja-aka Jibrailu ?) dan senantiasa beroleh jawaban : ”Belum.”
Pada saat yang kritis sekali iapun meninggalkan medan pertempuran bersama sisa pasukannya hingga pasukan Thulaihah ibn Khuwailid itu hancur binasa. Harta rampasan perang dikumpulkan dan dibagikan kepada anggota pasukan dan seperlima (al-Khumus) dikirim ke Madinah.
Thulaihah ibn Khuwailid bersama isterinya sempat meluputkan dirinya ke Syria di bawah lindungan kekuasaan Ghassav?, berdiam dalam lingkungan Bani Kalab.
Sewaktu dia mendengarkan berita bahwa sukubesar Asad dan Ghatfan dan Fezara dan lainnya itu telah berbalik memeluk agama Islam, maka iapun memeluk Islam kembali, akan tetapi tetap berdiam di Syria sampai wafat Khalif Abubakar. Ia sempat melakukan Umrah ke Tanah Suci sewaktu Khalif Abubakar masih hidup, liwat pada pinggiran kota Madinah dan diberitakan orang kepada Khalif Abubakar, maka beliau cuma berkata : ”Apa yang harus saya perbuat. Ia sekarang seorang Muslim !”
Kepala sukubesar Ghatfan, Uyainah ibn Hashan, yang meluputkan diri dari medan pertempuran pada saat sedemikian kritis ilu dapat dikejar dan ditawan dan dikirim ke Madinah kepada Khalif Abubakar. Kanak-kanak di kota Madinah mengiringkan-nya sambil berteriak : ”Hai, musuh Allah ! Apakah berbalik kafir setelah tahadinya ber-Iman ?”
Jawabannya cukup tegas : ’’Saya tidak pernah ber-iman dengan Allah agak sekejap matapun !,” (Ma aman-tu bi’llahi Iharfata-’Ainin).
Khalif Abubakar bersikap pura-pura tidak mendengar jawabannya itu. Sikap yang bijaksana itulah yang pada akhirnya menyadarkan tokoh itu dan berbalik memeluk agama Islam.
Sekalian tawanan perang itu, setelah mengangkat Bai’at, dibebaskan kembali. Sikap yang luwes itu amat besar pengaruhnya sewaktu berlangsung Gerak Besar ke Utara, menghadapi imperium Roma dan imperium Parsi, pada masa selanjutnya.
Daerah luas yang membentang dari perbatasan Yamamah di sebelah selatan sampai muara sungai Euphrate di sebelah utara itu mempunyai waha-waha subur tempat diam dan tempat penggembalaan ternak oleh keluarga-keluarga dari sukubesar Tamim. Keluaiga-keluarga pada belahan utara menganut agama Nasrani dan pada belahan selatan masih Watsani. Pada masa Nabi Besar Muhammad, setelah penaklukan kota Mekkah pada tahun 8 H/ 630 M, sukubesar Tamim itu mengirimkan perutusannya ke Madinah dan semuanya lalu memeluk agama Islam dan Nabi Besar Muhammad mengangkat pejabat-pejabat setempat (al-Ummal) untuk mereka itu. Termasuk di dalamnya ialah Bazar-qan, dan Sahal ibn Manjab, dan Kais ibn Ashim, dan Safwan Ibn Safwan, dan Sabra ibn Amru, dan Waki ibn Malik, dan Malik ibn Nuwaira.
Bagian terbesar dari suku Thai itu telah belot mengikut Thulaihah Al Asadi dan sebagian kecil saja masih teguh keimanannya. Kepala suku-besar itu, marhum Hatim-al-Thai, amat harum sekali namanya dalam kalangan bangsa Arab karena kedermawanannya hingga menimbulkan pameo ’’sidermawan Hatim.” Ia meninggal pada tahun 605 M yakni lima tahun sebelum Nabi Muhammad bermula mengembangkan agama Islam di Mekkah.
Sewaktu pasukan Islam menundukkan sukubesar Thai itu pada masa Nabi Besar Muhammad maka puterinya, Saffanah binti Hatim, kena tawan; dan puteranya, Adiya ibn Hatim, sempat meluputkan diri ke Syria dan memeluk agama Nasrani di situ. Mengingat kedudukan bapanya pada mata bangsa Arab maka puterinya itu dimerdekakan dan diberi perbekalan dan perbelanjaan secukupnya untuk pergi menjumpai saudaranya di Syria, mengikuti sebuah kafilah dagang. Ia bercerita tentang si-pat-sipat Nabi Muhammad hingga Adiya ibn Hatim itu bagaikan kena tarikan yang tiada tertahan-tahan hingga dia dan adiknya itu datang ke Madinah menjumpai Nabi Besar Muhammad dan keduanya lalu memeluk agama Islam. Peristiwa itu pada tahun 9 H/631 M.
Adiya menaruh kasihan atas bencana perang yang bakal menimpa sukubesar Thai itu. Iapun mengajukan saran kepada Khalif Abubakar dan sarannya itu diterima. Ia akan berangkat lebih dahulu dan baharulah Khalid menyusul dengan pasukannya. Ia akan berikhtiar melakukan pendekatan terhadap ketua-ketua suku di dalam lingkungan sukubesar Thai itu.
Pasukan berangkat menuju Khaibar dan Fedak dan melintasi pegunungan Abba dan berkemah pada perbatasan wilayah Nofud. Adiya dengan pasukan kecil maju untuk menjumpai ketua-ketua suku Thai dan berikhtiar menginsafkannya kembali. Mereka itu minta tempo tiga hari untuk dapat menghubungi kawan-kawannya yang sudah menggabungkan diri dengan Thu-laihah ibn Khuwailid itu. Adiya ibn Hatim pulang kembali ke perkemahan pasukan dan melaporkannya kepada Panglima Khalid ibn Walid. Tiga hari kemudian datanglah ketua-ketua suku Thai itu dan Panglima Khalid mengambil Bai’ah mereka itu.
Pasukan itu berangkat memasuki wilayah Nofud menuju Jadila, sebuah wilayah dataran tinggi, didiami sebagian sukubesar Thai itu. Adiya ibn Hatim dengan pasukan kecil maju kemb^U untuk berunding. Ia pulang kembali menjumpai Panglima Khalid sambil membawa 1.000 orang pasukan berkuda yang rela menggabungkan diri kembali ke dalam pasukan Islam. Memeka itu pu-tera-putera terbaik dari sukubesar Thai yang sangat berjasa di dalam pengembangan kekuasaan Islam pada masa-masa selanjutnya. Sejarah amat mencatat jasa-jasa yang disumbangkan Adiya ibn Hatim itu bagi menghindarkan bencana perang, yang akan menimbulkan korban besar pada pihak pasukan Islam, dan sebaliknya merupakan malapetaka bagi sukubesar Thai sendiri.
Pertempuran di Bazakha
Panglima Khalid telah beroleh tambahan kekuatan tempur dan memutar haluan dalam wilayah Nofud arah ke tenggara, dan melintasi rangkaian pegunungan Abba itu kembali, memasuki dataran tinggi tempat kediaman sukubesar Asad dan Ghat-fan dan Murra dan Fezara yang telah menggabungkan diri dengan Thulaihah ibn Khuwailid. Khalid langsung menuju pusat kedudukan dan ketentaraannya di Bazakha.
Khalid mengirimkan perutusan bagi menyampaikan pengumuman (al-Mansyurat) dari Khalif Abubakar itu. Perutusan itu disambut dengan cemooh. Pada akhirnya pecahlah pertempuran yang sengit.
Pada saat-saat pertempuran itulah kepala sukubesar Ghat-fan, Uyainah ibn Hashan, berulangkah bertanya kepada Thulaihah ibn Khuwailid : ’’Apakah Jibril sudah datang kepada anda?” (Hal-ja-aka Jibrailu ?) dan senantiasa beroleh jawaban : ”Belum.”
Pada saat yang kritis sekali iapun meninggalkan medan pertempuran bersama sisa pasukannya hingga pasukan Thulaihah ibn Khuwailid itu hancur binasa. Harta rampasan perang dikumpulkan dan dibagikan kepada anggota pasukan dan seperlima (al-Khumus) dikirim ke Madinah.
Thulaihah ibn Khuwailid bersama isterinya sempat meluputkan dirinya ke Syria di bawah lindungan kekuasaan Ghassav?, berdiam dalam lingkungan Bani Kalab.
Sewaktu dia mendengarkan berita bahwa sukubesar Asad dan Ghatfan dan Fezara dan lainnya itu telah berbalik memeluk agama Islam, maka iapun memeluk Islam kembali, akan tetapi tetap berdiam di Syria sampai wafat Khalif Abubakar. Ia sempat melakukan Umrah ke Tanah Suci sewaktu Khalif Abubakar masih hidup, liwat pada pinggiran kota Madinah dan diberitakan orang kepada Khalif Abubakar, maka beliau cuma berkata : ”Apa yang harus saya perbuat. Ia sekarang seorang Muslim !”
Kepala sukubesar Ghatfan, Uyainah ibn Hashan, yang meluputkan diri dari medan pertempuran pada saat sedemikian kritis ilu dapat dikejar dan ditawan dan dikirim ke Madinah kepada Khalif Abubakar. Kanak-kanak di kota Madinah mengiringkan-nya sambil berteriak : ”Hai, musuh Allah ! Apakah berbalik kafir setelah tahadinya ber-Iman ?”
Jawabannya cukup tegas : ’’Saya tidak pernah ber-iman dengan Allah agak sekejap matapun !,” (Ma aman-tu bi’llahi Iharfata-’Ainin).
Khalif Abubakar bersikap pura-pura tidak mendengar jawabannya itu. Sikap yang bijaksana itulah yang pada akhirnya menyadarkan tokoh itu dan berbalik memeluk agama Islam.
Sekalian tawanan perang itu, setelah mengangkat Bai’at, dibebaskan kembali. Sikap yang luwes itu amat besar pengaruhnya sewaktu berlangsung Gerak Besar ke Utara, menghadapi imperium Roma dan imperium Parsi, pada masa selanjutnya.
Peristiwa Malik ibn Nuwaira
Setelah menundukkan sukubesar Asad dan Ghatfan dan Fezara dan Murra dan lainnya, yang mendiami dataran tinggi pada jurusan sebelah timurlaut Madinah itu, maka Khalid dengan pasukannya turun ke dataran rendah yang membujur sampai pesisir teluk Parsi.Daerah luas yang membentang dari perbatasan Yamamah di sebelah selatan sampai muara sungai Euphrate di sebelah utara itu mempunyai waha-waha subur tempat diam dan tempat penggembalaan ternak oleh keluarga-keluarga dari sukubesar Tamim. Keluaiga-keluarga pada belahan utara menganut agama Nasrani dan pada belahan selatan masih Watsani. Pada masa Nabi Besar Muhammad, setelah penaklukan kota Mekkah pada tahun 8 H/ 630 M, sukubesar Tamim itu mengirimkan perutusannya ke Madinah dan semuanya lalu memeluk agama Islam dan Nabi Besar Muhammad mengangkat pejabat-pejabat setempat (al-Ummal) untuk mereka itu. Termasuk di dalamnya ialah Bazar-qan, dan Sahal ibn Manjab, dan Kais ibn Ashim, dan Safwan Ibn Safwan, dan Sabra ibn Amru, dan Waki ibn Malik, dan Malik ibn Nuwaira.
Sewaktu terberita kemangkatan Nabi Besar Muhammad maka semuanya melibatkan diri dalam gerakan Riddat. Sewaktu Khalif Abubakar berhasil menghalaukan pasukan Thulaihah ibn Khuwailid dari perbatasan Madinah, dan kemenangan pertama itu cepat tersiar, maka bani Amru dari sukubesar Tamim itu buru-buru mengirimkan perutusan ke Madinah di bawah pimpinan Safwan ibn Safwan untuk menyatakan tunduk kembali. Tetapi keluarga-keluarga lainnya berada dalam kebimbangan bagi menetapkan pendiriannya. Pada saat itulah seorang wanita yang berasal dari sukubesar Tamim dan mengaku dirinya Nabi, bernama Sajjah binti Alharits ibn Suwaicl ibn Aqfan, datang dengan pasukan untuk menyerang ke Madinah.
Sajjah binti Alharits itu berdiam tahadinya dalam lingkungan keluarga ibunya dari sukubesar Tighlab, yang mendiami wilayah Aljazirah pada belahan utara Irak, dan pengaruhnya cepat meluas. Ia berangkat dengan suatu pasukan. Di antara para panglimanya termasuk Huzail ibn Imran dari sukubesar Tighlab, yang tahadinya menganut agama Nasrani, tapi kemudian beriman kepada Sajjah. Selanjutnya Okbah ibn Hilal dari wilayah Namar, dan Ziyad ibn Fulan dari wilayah Iyyad, dan Sulail MJn Kais dari wilayah Syaiban.
Sajjah mengirimkan pasukan pelopor menjumpai Malik ibn Nuwaira menuntutnya tunduk dan kerjasama. Malik menerima tawaran itu dan menggabungkan diri dengan pasukan Sajjah. Akan tetapi keluarga-keluarga lainnya dalam sukubesar Tamim itu menolak untuk tunduk. Pecahlah pertempuran di sana-sini. Korban berguguran pada kedua belah pihak. Sajjah pada akhirnya merundingkan gencatan senjata dan saling memulangkan tawanan dan diikat perjanjian damai. Sajjah dengan pasukannya segera maju ke selatan menuju Yamamah untuk menyerang Musailamah, seorang tokoh dalam sukubesar Hanifah yang mengaku Nabi dan Rasul-Allah dan didukung oleh sukubesar itu.
NAFUD : Reruntuhan sebuah kota benteng (qal'at) di waha Sakakah, wilayah Nafud, pada dataran tinggi Arabia bagian tengah.
Musailamah di dalam wilayah Yamamah itu dihadapkan kepada dua jepitan. Pasukan dari Madinah di bawah pimpinan Ikramah ibn Hisyam, dengan pasukan cadangan di bawah pimpinan Syarhabil ibn Hasanah, tengah bergerak menuju Yamamah. Kini, pasukan Sajjah binti Alharits bergerak pula dari utara menuju Yamamah. lapun memilih jalan yang lebih selamat dengan pihak Sajjah binti Alharits itu. Berlangsung perundingan dan terikat perjanjian damai, bahkan kitab-kitab tarikh tertua mencatat, bahwa berlangsung perkawinan di antara keduanya. Sebuah di antara syarat perdamaian itu bahwa hasil wilayah Yamamah setiap tahun dibagi dua. Separoh diserahkan kepada Sajjah binti Alharits. Sebagai imbalannya maka pasukan kedua belah pihak akan bergabung menghadapi pasukan dari Madinah itu. Sajjah pulang kembali ke Aljazirah dan meninggalkan para panglimanya, yakni Huzail dan Ukhbah dan Ziyad, mendampingi Musailamah.
Dalam situasi serupa itulah Khalid ibn Walid dengan pasukannya maju menuju pusat ketentaraan Malik ibn Nuwaira di Wadi-al-Batthah. Sedangkan pasukan Sajjah binti Alharits itu berada di Yamamah. Dia akan tidak mampu menghadapi pasukan yang datang dari Madinah itu. Iapun mengungsikan seluruhnya dari Wadi-al-Batthah.
Sewaktu Khalid dan pasukannya tiba pada waha subur itu ternyata sudah kosong. Tidak seorangpun dan tidak seekor flr-nakpun berada di situ. Iapun memusatkan ketentaraan Islam di situ dan senantiasa mengirimkan al-Saraya (patroli-patroli) ke berbagai penjuru. Setiap turunan keluaiga (bani) dalam sukubesar Tamim itu, yang bersedia mengangkat Bai’at kembali, dijamin keselamatannya. Setiap yang menantang mestilah tangkap dan tawan. Itulah perintah yang diberikan Panglima Khalid kepada setiap pasukan patroli itu.
Abu Qutadah Harits Al Anshari berhasil menawan Malik ibn Nuwaira beserta pengiringnya dan menggiringnya ke Wadi-al-Batthah. Mereka itu dijerumuskan ke dalam tahanan. Malam itu suhu udara sangat dingin. Khalid menyuruh seseorang meneriakkan perintahnya berbunyi: ”ldfa-u-Usra-kum !”
Di dalam dialek umum bermakna : ’’Panasilah tawanan kamu !” Tetapi regu pengawal tawanan malam itu berasal dari sukubesar Kinanah. Di dalam dialek Kinanah bermakna : ’’Bunuhlah tawanan kamu !”
Pada malam itu terjadilah tragedi. Tatkala Khalid ibn Walid buru-buru keluar dari perkemahannya, demi mendengarkan jerit-pekik, maka pembantaian massal itu telah selesai. Sejarah mencatat ucapan Khalid dewasa itu, berbunyi : ’’Jadi, telah berlaku iradat Tuhan atas mereka.”
Dalam situasi serupa itulah Khalid ibn Walid dengan pasukannya maju menuju pusat ketentaraan Malik ibn Nuwaira di Wadi-al-Batthah. Sedangkan pasukan Sajjah binti Alharits itu berada di Yamamah. Dia akan tidak mampu menghadapi pasukan yang datang dari Madinah itu. Iapun mengungsikan seluruhnya dari Wadi-al-Batthah.
Sewaktu Khalid dan pasukannya tiba pada waha subur itu ternyata sudah kosong. Tidak seorangpun dan tidak seekor flr-nakpun berada di situ. Iapun memusatkan ketentaraan Islam di situ dan senantiasa mengirimkan al-Saraya (patroli-patroli) ke berbagai penjuru. Setiap turunan keluaiga (bani) dalam sukubesar Tamim itu, yang bersedia mengangkat Bai’at kembali, dijamin keselamatannya. Setiap yang menantang mestilah tangkap dan tawan. Itulah perintah yang diberikan Panglima Khalid kepada setiap pasukan patroli itu.
Abu Qutadah Harits Al Anshari berhasil menawan Malik ibn Nuwaira beserta pengiringnya dan menggiringnya ke Wadi-al-Batthah. Mereka itu dijerumuskan ke dalam tahanan. Malam itu suhu udara sangat dingin. Khalid menyuruh seseorang meneriakkan perintahnya berbunyi: ”ldfa-u-Usra-kum !”
Di dalam dialek umum bermakna : ’’Panasilah tawanan kamu !” Tetapi regu pengawal tawanan malam itu berasal dari sukubesar Kinanah. Di dalam dialek Kinanah bermakna : ’’Bunuhlah tawanan kamu !”
Pada malam itu terjadilah tragedi. Tatkala Khalid ibn Walid buru-buru keluar dari perkemahannya, demi mendengarkan jerit-pekik, maka pembantaian massal itu telah selesai. Sejarah mencatat ucapan Khalid dewasa itu, berbunyi : ’’Jadi, telah berlaku iradat Tuhan atas mereka.”