Berakhirnya Gerakan Musailamah Al Kazzab

Musailamah-al-Kazzab yang mendakwakan dirinya Nabi dan Rasul, bagi menandingi Nabi Besar Muhammad, mempunyai pasukan berkekuatan 40.000 tenaga tempur. Termasuk di dalamnya pasukan yang ditinggalkan isterinya Sajjah binti Alharits, yang telah pulang kembali ke Aljazirah pada belahan utara Irak, dan meninggalkan pasukannya itu di bawah pimpinan Huzail dan Ukbah dan Zayyad.

Musailamah itu terpandang tokoh cendekiawan dalam lingkungan sukubesar Hanifah yang mendiami wilayah Yamamah. Wilayah itu terletak pada bagian Tengah belahan timur. Pada bagian timur dan timurlaut berwataskan wilayah Bahrain dan wilayah kediaman sukubesar Tamim. Bagian utara berwataskan wilayah Nejed dan bagian selatan berwataskan Najran dan wilayah Yaman dan bagian barat berwataskan wilayah Hijaz, dengan jarak perjalanan kafilah selama tiga hari dari kota Mekkah. Wilayah itu terpandang subur dengan kebun-kebun korma beserta tanaman-tanaman lainnya.

Sewaktu sukubesar Hanifah itu mengirimkan perutusan ke Madinah menjumpai Nabi Besar Muhammad, setelah penaklukan kota Mekkah pada tahun 8 H/630 M, maka Musailamah ikut dalam rombongan perutusan itu. Pulang dari Madinah itu iapun mendakwakan dirinya Nabi dan Rasul dan lambatlaun beroleh pengikut yang makin bertambah-tambah luas, apalagi sesudah terberita kemangkatan Nabi Besar Muhammad.
Khalif Abubakar mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Panglima Ikramah ibn Amru ibn Hisyam, yang disusuli dengan

pasukan cadangan di bawah pimpinan Panglima Syarhabil ibn Hasanah. Pahlawan muda itu, yang kelak tewas dalam Battle of Ajnadin menghadapi imperium Roma di Palestina pada tahun 14 H/635 M, adalah putera Abu Jahal. Ia terburu nafsu untuk menaklukkan lawan dan kurang memperhitungkan perimbangan kekuatan dan tidak menunggukan kedatangan pasukan cadangan. Tersebab itu pasukannya hancur. Sisanya yang sempat mengundurkan diri lantas berjumpa dengan pasukan cadangan pada suatu tempat. Mereka mendirikan perkemahan di situ dan mengirimkan laporan ke Madinah.

Jawaban Khalif Abubakar amat keras, berbunyi : ’’Jangan datang menjumpaiku dan aku tak ingin berjumpa denganmu. Jangan pulang ke Madinah karena akan buruk sekali akibatnya. Berangkatlah menyusuli Huzaifah dan Arfajah bagi menghadapi penduduk wilayah Oman dan wilayah Malira. Sehabis itu pergilah membantu Muhajir ibn Abi-Umayyah di dalam wilayah Yaman dan Hadhramaut.”

Selanjutnya kepada Panglima Syarhabil dikirimkan perintah supaya tetap berada di tempat dan nanti harus menggabungkan diri dengan pasukan Khalid ibn Walid. Bilamana selesai menghadapi Musailamah, dia dan pasukannya harus berangkat membantu Panglima Amru ibn Ash menghadapi sukubesar Kudha’ah.

Khalif Abubakar segera menyusun balabantuan terdiri atas pasukan Al Muhajirin di bawah pimpinan Abu Huzaifah dan Zaid ibn Khattab beserta pasukan Al Anshar di bawah pimpinan Tsa-bit ibn Kais ibn Syamah. Iapun mengirimkan perintah kepada Khalid ibn Walid di Wadi-al-Batthah supaya menunggukan kedatangan balabantuan itu dan menunjuknya untuk mengepalai keseluruhan pasukan bagi menghadapi Musailamah-al-Kazzab.

Musailamah yang beroleh berita tentang pergerakan pasukan Khalid ibn Walid itu segera menggerakkan keseluruhan pasukannya menuju Wadial-Aqraba, terletak antara Wadi-al-Nabaj dengan Yamamah, tempat perlintasan bagi pihak-pihak yang datang dari arah Basrah. Wilayah sekitarnya itu tempat kediaman suku Bani Amir.

Sebuah regu patroli (al-Siryat) dari pasukan Musailamah itu, di bawah pimpinan Majat ibn Mirarat, seorang tokoh yang dihormati dalam lingkungan sukubesar Hanifah, bergerak dalam wilayah sekitar Aqraba itu. Tujuannya bukan untuk menyelidiki gerak-gerik pasukan Islam akan tetapi untuk ’’menuntut balas” terhadap suku Bani Amir atas suatu peristiwa antar-suku.

Regu patroli yang terdiri atas lebihkurang 60 orang itu dapat disergap oleh pasukan Islam dan pecah pertempuran. Sisanya dapat ditawan termasuk Majat ibn Mirarat. Kecuali tokoh yang sangat dihormati sukubesar Hanifah itu maka selebihnya dijatuhi hukuman mati, karena menolak mengangkat bai’at terhadap Khalif Abubakar.

Pada keesokan harinya pecahlah pertempuran yang sangat dahsyat di Wadi-al-Aqraba. Abdullah ibn Hafash ibn Ghanim yang memegang panji-panji pasukan Al Muhajirin tewas dan digantikan oleh Salim, mawla Abu Huzaifah. Panji-panji pasukan Al Anshar langsung dipegang oleh Panglima Tsabit ibn Kais.

Pertempuran dahsyat itu dimulai lebih dahulu dengan pe-rang-tanding. Tokoh yang pertama-tama muncul ke depan dari pihak pasukan Musailamah-al-Kazzab ialah Nahar-al-Rajjal ibn Unfuwa berhadapan dengan Zaid ibn Khattab, saudara Umar ibn Khattab, dari pihak pasukan Islam. Ia berhasil menewaskan tokoh dari pihak Musailamah itu. Setelah perang-tandirig itu berlangsung berkian kali maka pecahlah pertempuran dahsyat itu. Korban pada kedua belah pihak demikian besarnya.

Oleh karena kekuatan lawan berjumlah lebih besar maka pasukan Islam lambatlaun terdesak. Mengingat kelumpuhan dan kemungkinan hancur itu maka Panglima Khalid segera mengambil suatu taktik. Iapun memerintahkan mundur secepat-cepatnya dan sejauh-jauhnya, dikejar oleh pihak lawan, sampai pasukSn Musailamah-al-Kazzab itu menguasai perkemahan pasukan Islam, terjadilah rebut-rampas dengan ramainya, mengobrak-abrik perkemahan itu, sampai kepada kemah tempat kediaman Khalid ibn Walid. Regu pasukan yang menyerbu ke dalamnya ingin menawan isteri Panglima Khalid tetapi di situ ternyata berada tokoh yang sangat dihormati sukubesar Hanifah, yakni Majat ibn Mirarat, yang segera menahan mereka itu dan berkata : Ana laha Jarr (Aku adalah tetangganya). Ungkapan itu, sepanjang tradisi Arab, adalah darah lawan darah dan nyawa lawan nyawa jikalau seseorang yang sudah dinyatakan ’’tetangga” (al-Jarr) itu masih diganggu. Mereka itu lantas tidak dapat berbuat apa-apa dan Majat ibn Mirarat memberikan perintah : 'Alai-kum bi’l-Rijal! (Kejarlah pihak Lelaki).

Di dalam suasana rebut-rampas dan sorak-sorai kemenangan itulah pasukan Islam mendadak menyerbu kembali dengan dahsyatnya. Medan pertempuran penuhlah oleh korban-korban yang tewas dan mayat-mayat bergelimpangan dan darah membanjir. Pasukan Musailamah-al-Kazzab mendekati kehancurannya sewaktu Muhakkam ibn Thufail, salah seorang panglima pasukan Musailamah, segera berteriak : ”Hai Bani Hanifah ! Mundur ke Taman ! Mundur ke Taman !”

Jauh di belakang Wadi-al-Aqraba itu ada suatu tempat subur yang dipanggilkan AJ Hadikat (Taman), di dalam wilayah Ya-mamah, kepunyaan Musailamah al-Kazzab, dilingkari dinding tembok yang teguh. 

Muhakkam ibn Thufail itu sempat dipanah oleh Abdurrahman ibn Abibakar, putera Khalif Abubakar, lalu tewas di situ. Tetapi Musailamah dengan sisa pasukannya itu segera meluputkan diri secepat-cepatnya, dikejar oleh pihak pasukan Islam terus menerus, tetapi.menjelang malam sempatlah mereka itu menyelamatkan diri ke dalam Al Hadikat dan menutupkan gerbangnya.
HOFUF : Reruntuhan sebuah kota-benteng (qal’at) di Hoftlf, pada dataran tinggi Arabia bagian tengah, dipanggilkan dengan Qasr-al-Abid.
Al Hadikat yang luas itu, penuh oleh pohon-pohon tamar, berbentuk suatu perkubuan (al-Tsughur). Para pengikut Musailamah memanggilkannya dengan Hadikat-al-Rahman yakni Taman dari Yang Maha Asih. Semalam-malaman itu pasukan Islam mengepung perkubuan itu dan sesekali menghujaninya dengan anak panah dan dibalas dari pihak pasukan yang bertahan di dalamnya. Pada jauh tengah malam, seorang tokoh Anshar bernama Al Barrak, meminta supaya dia dilompatkan ke balik dinding tembok perkubuan itu pada bagian gerbangnya. Panglima Khalid dan orang sekitarnya menolak mengingat keselamatan dirinya. Tetapi jawabannya tegas bahwa sebelum ajal berpantang mati.

Panglima Khalid mengatur siasat. Perkubuan pada bagian-bagian penjuru lainnya diserang dengan dahsyat, diserbu dan dihujani anakpanah. Sementara itu sekelompok orang merayap mendekati tembok perkubuan pada bagian gerbang dan kemudian mengayunkan Al Barrak dan melompatkannya arah ke dalam. Seperti diduga oleh Panglima Khalid bahwa kekuatan pertahanan pada arah itu telah dikerahkan ke penjuru-penjuru lainnya. Al Barrak cuma menghadapi perlawanan kecil dan berhasil membuka gerbang perkubuan itu dan pasukan Islam membanjir masuk bagaikan airbah, lalu menutup gerbang itu kembali. Pasukan lawan dihadapkan kepada suasana panik dan terjadilah pembantaian dan pertempuran.

Menurut hemat Panglima Khalid bahwa hal yang ngeri itu belum akan terhenti, dengan korban yang sangat besar pada kedua belah pihak, sebelum Musailamah-al-Kazzab tewas. Iapun berseru dan meneriakkan perang-tanding terhadap Musailamah.

Tetapi Musailamah telah tewas dan tidak ada sahutan. Ia tewas di tangan Wahsyi, mawla Jabir ibn Muth’im, yang segera menyerukan Allahu Akbar. Perlawanan patah dan terhenti. Wahsyi itu berasal dari Ethiopia (Habsyi) dan berperawakan tegap besar. Dulu, sewaktu dia ber-Iman di depan Nabi Besar Muhammad dan airmatanya bercucuran karena telah melakukan dosa besar membunuh Hamzah ibn Abdil-Muthalib, paman Nabi, pada masa Perang Uhud tahun 3 H/625 M, maka Nabi Besar Muhammad menghiburkannya bahwa dosanya itu akan ditebusnya kelak dengan perbuatan yang lebih besar. Kini, ia menyaksikan kebenaran janji Rasul-Allah, iapun meneriakkan : Allahu Akbar !

Harta rampasan dan tawanan pada malam itu berjumlah demikian besarnya. Pertempuran di Wadi-al-Aqraba maupun dalam perkubuan Al Hadikat itu telah menewaskan belasan ribu korban pada pihak Islam, termasuk empatpuluh tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan Al Anshar dan kalangan Al Muhajirin, dan Tarikh-al-Thabari mencatat nama satu persatunya.

Majat ibn Mirarat menyatakan kepada Khalid ibn Walid bahwa yang dihadapinya itu baharulah pasukan pelopor akan tetapi kekuatan inti berada pada Al Hushun (Perbentengan) dalam wilayah Yamamah. Ia meminta supaya ditunjuk sebagai badan penghubung guna menghindarkan korban yang lebih besar. Permintaannya itu dikabulkan. Dengan itu, kabilah-kabilah dari sukubesar Hanifah itu segera berbalik "Mengangkat bai’at terhadap Khalif Abubakar dan bai’at mereka itu diterimakan oleh Panglima Khalid ibn Walid.