Menghilang Di Hadapan Utusan
Delapan tahun sudah Rasulullah menetap di Madinah dengan berbagai macam peristiwa suka dan duka yang menyelemuti perkembangan Islam. Memasuki tahun ke-9 Hijriah, nama kaum muslimin semakin harum di kancah dunia. Kemenangan-kemenangan dalam peperangan yang diperoleh kaum muslimin membuat namanya semakin membumbung dengan keharuman yang tiada taranya.
Keadaan kaum muslimin yang sedang berada di puncak kejayaannya, membuat para pemimpin negara tetangga, yang belum masuk Islam, mengirimkan utusan untuk mendengarkan ajaran yang dibawa beliau dengan lebih jelas dan teperinci. Utusan-utusan tersebut datang dari berbagai daerah di jazirah Arab. Oleh sebab itu, tahun ke-9 Hijriyah itu terkenal dengan sebuatan "Tahun Utusan" atau disebut juga dengan "Amul Wufud."
Ternyata, utusan-utusan tersebut tidak semua bertujuan baik karena seorang utusan yang bernama Amir Ibnuth-Thufail malah bermaksud membunuh beliau dalam pertemuan tersebut. Ia bersekongkol dengan temannya yang bernama Ibad bin Qays. Amir Ibnuth-Thufail adalah seorang utusan wakil dari Bani Amir yang memang sudah lama tidak merasa senang dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah, bahkan ia sangat membenci beliau sehingga menggunakan kesempatan pertemuan itu untuk mencoba menghabisi nyawa Rasulullah.
Rencana busuk tersebut dilaksanakan oleh Ibad dan Amir pada saat mereka telah berhadapan dengan Rasulullah di dalam sebuah ruangan dan sedang membicarakan masalah-masalah agama Islam. Pada saat yang telah ditentukan oleh mereka bedua, Amir memberi suatu tanda rahasia kepada Ibad bin Qays supaya segera melaksanakan rencananya. Ibad pun mulai bergerak ketika sudah mendapat tanda dari Amir. Ia segera berputar ke arah belakang Rasulullah untuk membunuh beliau.
Ketika Ibad sudah ada di belakang punggung Rasulullah, pedang yang ada ditangannya pun tinggal dibacokkan ke arah Rasulullah, namun Amir melihat Jelas wajah teman sekongkolnya yang tampak tercengang dan kebingunan. Ibad seperti sedang mencari-cari buruannya yang mendadak hilang. Maka, pedang di tangannya pun selamat dari haus darah.
Ketika mereka berdua telah berada di luar ruangan, hal itu tentu saja dipertanyakan oleh Amir Ibnuth-Thufail dengan nada yang marah, "Mengapa engkau tidak membunuhnya, hai penakut?" Ibad tidak mau dituduh penakut itu membela diri," Hai Amir, bukannya aku penakut, seperti yang engkau tuduhkan. Bahkan kamu juga telah mengetahui keberanianku?" "Lalu mengapa engkau tidak jadi membunuh Muhammad?" tanya Amir yang masih penasaran. "Hai Amir! Sesungguhnya aku telah mengalami keajaiban yang luar biasa. Setiap kali pedangku akan kuayunkan ke arahnya, tiada yang kulihat kecuali engkau seorang, sedang aku sama sekali tidak melihat Muhammad. Apakah engkau mau terbabat oleh pedangku?" tanya Ibad. "Muhammad itu berada di depanmu, tolol!" bentak Amir dengan marah. "Benar, memang Muhammad ada di depanku. Tetapi, setiap kali aku hendak memukulkan pedangku, hanya engkaulah yang terlihat di depan mataku. Daripada nanti aku membunuhmu maka aku mengurungkan niatku! kata Ibad.
Begitulah cara Allah menjaga utusan-Nya, kekasih-Nya yang suci dan selalu terlindungi. Sebagai balasan atas rencana jahat mereka, Rasulullah meminta kepada Allah agar memberi laknat kepada Amir Ibnuth-Thufail dan Ibad Qays. Maka, Allah pun mengabulkan permohonan kekasih-Nya. Amir terserang kolera hingga meninggal sebelum ia sampai di rumahnya, sedangkan Ibad bin Qays mati disambar petir yang menggelegar.