Tasawuf Imam Ghazali
Imam Ghazali |
A. Pendahuluan
Tasawuf sebagai salah satu ilmu esoterik islam memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlebih pada saat ini dimana masyarakat seakan mengalami banyak masalah sehingga tasawuf dianggaap sebagai satu obat manjur untuk mengobati kehampaan tersebut.
Terlepas
dari banyaknya pro dan kontra seputar asal mula munculnya tasawuf harus
kita akui bahwa nilai-nilai tasawuf memang sudah ada sejak zaman
Rasulullah SAW. Setidaknya tasawuf pada saat itu terlihat dari tingkah
laku nabi yang pada akhirnya kita namakan dengan nilai-nilai sufi. Hal
tersebut sangatlah wajar karena misi terpenting nabi adalah untuk
memperbaiki dan sekaligus meyempurnakan akhlak masyarakat arab dulu.
Diantara
salah satu tokoh tasawuf islam yang sangat terkenal adalah Muhammad ibn
Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi atau yang kita kenal dengan
sebutan Imam Al-Ghazali. Beliau telah berhasil menggagas kaedah-kaedah
tasawuf yang terkumpul dalam karya yang terkenal Ihya’ U’lum al-Din (The Revival of Religion Sciences). Karya
al-Ghazali ini dianggap sebagai jembatan yang mendamaikan syari’at
dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada zaman itu.
B. Sekilas Tentang al-Ghazali
Al-
Ghazali yang terkenal dengan sebutan al-Gazel di dunia barat adalah
seorang ahli sains terkemuka. Dalam perjalanan hidupnya ia merupakan
seorang pengembara ilmu. Hal ini setidaknya dapat dibuktikan dengan
karya-karyanya yang kaya akan berbagai cabang keilmuan. Selain di kenal
sebagai tokoh sufi ia juga dikenal sebagai seorang ulama’ usul fiqh
dengan karyanya al-mustashfa, ia juga dikenal sebagai tokoh filsafat dengan karyanya Tahafut al-Falasifah
yang mengkritik konsep berfikir para filosof saat itu. Al-Ghazali
menganggap para filosof pada saat itu telah melewati batas dan terjadi
kehawatiran yang mendalam akan rusaknya akidah kaum filsafat sehingga ia
berinisiatif untuk meluruskan pemikiran filsafat pada zaman itu.
Abu
Hamid al-Ghazali dilahirkan pada tahun 405 H/ 1058 M di kota Tush yaitu
kota kedua setelah Naisabur di daerah Khurasan atau pada saat ini
berada pada bagian timur laut negara Iran.[1]
Al Ghazali dengan nama lengkap Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn
Ahmad al-Thusi ini mendapat banyak gelar dalam dunia islam. Diantara
gelar yang paling terkenal adalah Hujjah al-Islam dan Zain al-‘Arifin.
Ia diberikan gelar Hujjah al- Islam karena ia menjadikan tasawuf sebagai
hujjahnya dalam berbagai perbincangan kesufian.
C. Pendidikan Al-Ghozali
Pendidikannya
dimulai didaerahnya yaitu belajar kepada Ahmad Ibnu Muhammad al –
Razkani al – Thusi, setelah itu pindah ke Jurjan ke pendidikan yang
dipimpin oleh Abu Nash al-Ismaili mempelajari semua bidang agama dan
bahasa, setelah tamat kembali ke Thus belajar tasawuf dengan Syekh Yusuf
al – Nassaj (wafat 487 H) , kemudian ke Nisyapur belajar kepada Abul
Ma’al al-Juwaini yang bergelar Imam al – Haramain dan melanjutkan pelajaran Tasawuf kepada Syekh Abu Ali al – Fadhl Ibnu Muhammad Ibnu Ali al – Farmadi, dan ia mulai mengajar dan menulis dalam Ilmu Fiqh. Setelah Imam al – Juwaini wafat ia pindah ke Mu’askar mengikuti berbagai forum diskusi dan seminar kalangan ulama dan intelektual dan dengan segala kecermelangannya membawanya menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah di Baghdad pada tahun 484 H, disamping memberikan kuliah, ia juga mengkaji filsafat Yunani dan filsafat Islam. Kecermelangan, keharuman namanya dan kesenangan duniawi yang melimpah ruah di Baghdad melebihi ketika ia di Mu’askar, dikota ini ia sakit dan secara tiba-tiba meninggalkan Baghdad mengundurkan diri dari kegemerlapan duniawi tersebut.
D. Sosio Politik
Al-Ghozali
hidup pada saat keadaan politik yang kacau. Pada saat itu pemerintahan
Abbasiah sudah tidak ada pengaruhnya dengan munculnya Dailami Saljuk
kemudian Qowamuddin Nizamul Mulk selain itu juga terjadi perang saudara.
E. Sosio Ekonomi
Al–Ghazali
adalah anak dari seorang yang wara’ yang hanya makan dari usahanya
sendiri, dengan pekerjaan memintal dan menjual wol di sebuah toko tua di
kota Thus Propinsi Khurasa, wilayah Persi. Meski pekerjaan ayahnya
tidak memadai dalam memenuhi kebutuhan sehari – hari, namun ayahnya
adalah seseorang yang cinta dengan Ulama’ selain itu dia terus menerus
meminta kepada Tuhan (Allah SWT) agar anak – anaknya senantiasa mendapat
anugerah dan hidayah dari Allah SWT supaya menjadi anak yang berguna
dan berpengetahuan luas. Dengan penuh harapan kiranya kedua putranya
kelak dapat memenuhi harapan dan keinginannya. Selain itu keadaan
perekonomian dinegara itu sedang kacau, karena adanya kholifah yang korupsi, sehingga menyebabkan banyaknya kefakiran.
F. Al-Ghazali dan Tasawuf
Dalam
bidang tasawuf Al- Ghazali berusaha meletakkan kembali posisi tasawuf
ke tempat yang benar menurut syari’at Islam. Al-Ghazali membersihkan
ajaran tasawuf dari pengaruh faham-faham asing yang masuk mengotori
kemurnian ajaran Islam. Pada saat itu banyak yang beranggapan bahwa
seorang ahli tasawuf yang tidak beri’tikad dangan faham di atas, maka
sebenarnya tidak pantas diberi gelar sebagai ahli tasawuf Islam.
Sehingga sebagian orientalis Barat terpengaruh dengan pendapat ini.
Contoh-nya Nicholson, ia berpendapat, “Al-Ghazali tidak termasuk dalam
golongan ahli tasawuf Islam, karena ia tidak beri’tikad dengan wihdat
al-wujud”.
Dalam usaha pembersihannya tersebut, Al Ghazali mengawali kitabnya Ihya ‘Ulumiddin dengan pembahasan faraidh al-Diniyah,
kemudian diikuti dengan pembahasan Nawafil dan selanjutnya baru diikuti
dengan cara-cara yang sepatutnya diikuti untuk sampai ke martabat yang
sempurna. Ketertarikan Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja telah
membuatnya memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih jauh lagi,
justru dia memiliki peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan
tasawuf selanjutnya. Jika pada awal pembentukannya tasawuf berupaya
menenggelamkan diri pada Tuhan dimeriahkan dengan tokoh-tokohnya seperti
Hasan Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub al-ilah), Abu Yazid
Al-Busthami (fana`), Al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang dengan
munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi (wahdat
al-wujud), Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana’, dan
wahdat at-shuhud) yang mana menitikberatkan pada hakikat serta terkesan
mengenyampingkan syariah, kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan
warna lain; dia telah mampu melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu
kalam, fiqih,dan tasawuf yang sebelumnya terjadi ketegangan.[2]
Peran terpenting yang di pegang al-Ghazali terjadi pada abad ke lima hijriyah. Pada saat itu terjadi perubahan yang jauh oleh para sufi. Banyak dari mereka yang tenggelam dalam dunia kesufian dan meninggalkan syariat.[3]
Kampanye
al-Ghazali dalam mengembalikan tasawuf pada jalan aslinya yaitu tidak
menyimpang dari nash dan sunah Rasul telah membawa perubahan besar pada
zamannya. Ia berpendapat bahwa seorang yang ingin terjun dalam dunia kesufian harus terlebih dahulu menguasai ilmu syariat. Karena
praktek-praktek kesufian yang bertentangan dengan syariat islam tidak
dapat dibenarkan. Menurut al-Ghazali tidak seharusnya antara syariat dan
tasawuf terjadi pertentangan karena kedua ilmu ini saling melengkapi.
Dalam kitabnya Ihya’ U’lum al-Din al-Ghazali menjelaskan dengan detail hubungan antara syariat dengan tasawuf. Ia memberikan contoh praktek syariat yang kosong akan nilai tasawuf (hakikat) maka praktek itu tidak akan diterima oleh Allah dan menjadi sia-sia. Sebaliknya praktek tasawuf yang meninggalkan aturan syariat islam maka praktek itu akan mengarah pada bid’ah. Ibarat syariat adalah tubuh maka nilai-nila tasawuf adalah jiwanya sehingga antara keduanya tidak dapat dipisahkan.[4]
Dalam kitabnya Ihya’ U’lum al-Din al-Ghazali menjelaskan dengan detail hubungan antara syariat dengan tasawuf. Ia memberikan contoh praktek syariat yang kosong akan nilai tasawuf (hakikat) maka praktek itu tidak akan diterima oleh Allah dan menjadi sia-sia. Sebaliknya praktek tasawuf yang meninggalkan aturan syariat islam maka praktek itu akan mengarah pada bid’ah. Ibarat syariat adalah tubuh maka nilai-nila tasawuf adalah jiwanya sehingga antara keduanya tidak dapat dipisahkan.[4]
G. Konsep Ma’rifat al-Ghazali
Konsep
ma’rifat merupakan bagian dari finalitas maqomat seorang sufi. Setelah
seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari taubah, wira’i, zuhud,
faqru, sabar, tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada satu tsamroh
atau hasil dari perjalanan kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang dalam
kitab Ihya’ U’lum al-Din di namakan dengan mahabatullah.[5]
Keterikatan
antara ‘mahabbah’ dan makrifat dalam pemikiran sufisme amat erat seolah
sepasang kembar yang tak dapat dipisahkan baik subtansi maupun
sifat-sifatnya. Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada pengenalan yang tidak melahirkan cinta. Ini berlaku dalam setiap taraf spritual.
Menurut
al-Ghazali proses mengenal Allah tidak dapat dilakukan hanya dengan
menggunakn akal sebagaimana yang diyakini oleh para kaum filsafat.
Al-Ghazali mengaatakan bahwa pengenalan Allah dengan dhauq atau
perantara intuitif (batini) akan lebih dapat memberikan keyakinan dan
ketenangan spiritual dari pada hanya sebatas bersandar dengan akal.
Proses
ma’rifat (pengenalan) seseorang kepada tuhannya untuk mencapai mahabbah
berbeda-beda. Al-Ghazali membagi kelompok orang-orang yang sampai pada
tingkat ma’rifat dan mahabbah kepada dua tingkatan yaitu pertama
tingkatan seseorang yang kuat dalam ma’rifat. Dia adalah seseorang yang
menjadikan Tuhan sebagai awal ma’rifatnya dan kemudian dengan ma’rifat
itu ia mengenal segala sesuatu yang selain Tuhan. Kedua adalah tingkatan
seseorang yang lemah ma’rifatnya. Yaitu seseorang yang bermula dengan
mengenal ciptaan Tuhan kemudian dengan ma’rifatnya ia mengenal Tuhan.[6]
Untuk
sampai pada mahabbah dan ma’rifat yang sempurna kepada Tuhan tentunya
seorang sufi terlebih dahulu harus melewati berbagi maqom dan melewati
batas fana’. Fana’ merupakan satu istilah yang menggambarkan
seorang sufi yang telah melakukan proses takhalli dan tahalli. Seorang
yang mencintai Tuhan akan berusaha bertakhalli atau membersihkan diri
dan jiwa dari segala macam sifat yang dibenci oleh Tuhan. Begitu juga
sebaliknya setelah seorang sufi melakukan tahkalli (pembersihan) maka ia
akan mengisi hidupnya dengan sifat-sifat yang dicintai oleh Tuhan atau
bertahalli.[7]
Finalitas
dari sebuah mahabbah dan ma’rifat yang sempurna adalah terbukanya hijab
dan terjadinya tajalli atau penampakan Tuhan pada makhluknya. Seorang
yang telah sampai pada maqom ini akan merasa hidupnya terpenuhi oleh
cahaya Tuhan. Bahkan terkadang saat berada dalam kondisi sakran (mabuk)
seseorang akan mengeluarkan ucapan-ucapan teopatis atau dalam istilah
tasawuf syatotoh. Yang menarik dari konsep ma’rifat al-Ghazali adalah
penolakannya pada konsep-konsep tokoh sufi sebelum al-Ghazali seperti
Abu Yazid dengan konsep ittihad, al-Hallaj dengan konsep hulul, ibn
Arabi dengan konsep wahdah al-wujud.
Menurut
al-Ghazali paham tersebut berkecenderungan ke arah ketuhanan yang
bercorak panteistis-imanenis yang menggambarkan Tuhan sebagai Dzat yang
imanen dalam diri manusia. Al-Ghazali melihat itu semua sebagai paham
yang akan merusak konsep tauhid yang menjadi ciri khas dogma teologi
dalam Islam.
Dalam
bukunya, al-Munqidz, ia melihat rumusan mengenai kedua konsepsi ini
sebagai khayalan semata. Katanya, “… sampailah ia ke derajat yang begitu
dekat dengan-Nya sehingga ada orang yang mengiranya sebagai hulul,
ittihad atau wushul. Semua persepsi itu adalah salah belaka. … barang
siapa mengalaminya, hendaklah hanya mengatakan bahwa itu suatu hal yang
tak dapat diterangkan, indah, baik, utama, dan jangan lagi bertanya.”
Dengan
batasan ini, bisa dilihat bahwa al-Ghazali mempertahankan keyakinan
mengenai Tuhan sebagai Dzat yang transenden. Artinya Tuhan adalah Dzat
yang mengatasi dan berbeda dengan manusia : Ada perbedaan mendasar
antara Tuhan dan makhluk (manusia) secara jelas dalam pandangan
al-Ghazali.
Akan
tetapi penolakan al-Ghazali terhadap hulul dan ittihad di atas tidak
otomatis merupakan penolakannya pada pengalaman orang-orang yang telah
mencapai maqom ma’rifat. Bagi al-Ghazali, pengalaman itu benar adanya.
Kaum `arifun, setelah pendakiannya ke langit hakekat, sepakat bahwa
mereka tak lagi melihat dalam wujud ini kecuali Tuhan.
Adapun
ucapan al-Hallaj ana al-Haq, dan ucapan-ucapan tokoh sufi lainnya yang
dianggap aneh dan menyesatkan sebenarnya hanyalah merupakan kata-kata
teopatis atau syafahat. Ia merupakan ucapan yang terlepas di bawah
kontrol kesadaran seseorang saat ia berada dalam keadaan mabuk (sakran)
akan cinta Tuhan. Ucapan-ucapan itulah yang selanjutnya di sebut sebagai
ajaran-ajaran ittihad, hulul dan wihdatul wujud.
Menurut
dia, ilmu sejati atau ma’rifat sebenarnya adalah mengenal Tuhan.
Mengenal Hadrat Rububiyah. Wujud Tuhan meliputi segala Wujud. Tidak ada
yang wujud, melainkan Tuhan dan perbuatan Tuhan. Tuhan dan perbuatannya
adalah dua, bukan satu. Itulah koreksi al-Ghazali atas pendirian
al-Hallaj dan ulama sufi lainnya. Wujudnya ialah kesatuan semesta
(wihdatul wujud). Alam keseluruhan ini adalah makhluk dan ayat (bukti)
tentang kekuasaan dan kebesaran-Nya. Sedangkan penglihatan akan Tuhan
melalui alam dan makhlukNya adalah sebatas tajalli atau penampakan akan
keberadaan Tuhan bukan berarti Tuhan menyatu dengan alam apalagi
mengalami perstuan ke dalam tubuh manusia.
H. Penyebaran ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Al
Ghazali adalah salah satu ulama’ dan juga sufi yang terkenal di dunia.
Hal ini disebabkan salah satu faktornya adalah karangan kitab beliau
yang terkenal dengan nama Ikhya’ Ulumuddin (Menghidupkan ilmu-ilmu
agama). Dalam kitab ini pembahasannya dibagi menjadi empat bab dan
masing-masing dibagi lagi menjadi 10 pasal, yaitu:
Pada bab pertama: tentang Ibadah (rubu’ al – ibadah). Bab kedua: tentang adat
istiadat (rubu’ al – adat). Bab ketiga: tentang hal -hal yang
mencelakakan (rubu’ al – muhlikat). Sedangkan bab yang keempat: tentang
maqamat dan ahwal (rubu’ al – munjiyat). Namun yang menjadi isi pokok
pada kitab tersebut adalah ikhlas dengan tauhid Allah dan Ikhlas
menjalankan tauhid Allah. Namun yang menjadi kekurangannya adalah al
ghazali tidak membahas tentang jihad dalam kitab tersebut, padahal pada
saat itu dalam keadaan perang.
I. Penutup
Demikianlah
sedikit uraian tentang konsep tasawuf al-Ghazali. Tentunya tulisan ini
masih sangat jauh untuk mengungkap secara detail dan sempurna tentang
geliat al-Ghazali dalam dunia tasawuf . Untuk itu penulis yakin makalah
ini masih membutuhkan banyak koreksi dan masukan. Sebagai penutup
penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca
Wallâhul hâdî ilâ sabîli al-rasyâd.
Karangan Imam Al-Gazali Tentang Jalan Hidup Kaum Sufi.
Karangan Imam Al-Gazali Tentang Jalan Hidup Kaum Sufi.
*Ditulis oleh: Misbahus Surur (Mahasiswa STAI Ma’had Aly Al-Hikam Malang).
sumber : http://elmisbah.wordpress.com/tasawuf-imam-ghazali/