Rasulullah Dapat Meredakan dan Menghilangkan Hujan

Peristiwa ini terjadi di Madinah pada tahun keenam Hijriah, di mana pada waktu itu terjadi kemarau panjang hingga mengakibatkan musim peceklik yang melanda masyarakat Madinah. Banyak binatang ternak yang mati dan musnah karena tidak adanya air untuk minum dan rerumputan untuk makanan. Sementara itu, tanaman banyak yang terserang hama, banyak pula yang mati kekeringan.

Kejadian ini dipahami oleh Rasulullah sebagai sesuatu yang datangnya dari Allah untuk menguji kemantapan iman penduduk negeri itu. Namun, beliau tidak memberitahukan hal itu kepada penduduk kota Madinah. Dibiarkannya keadaan ini untuk melihat seberapa jauh kesetiaan mereka terhadap akidah yang dipegangnya, setelah ditimpa kesusahan berupa musim peceklik. Sebetulnya, bila Rasulullah meminta kepada Allah untuk menghentikan musim paceklik ini, niscaya Allah akan mengabulkan doanya. Namun, sejauh masyarakat Madinah masih bersabar dengan keadaan seperti ini, beliau mendiamkannya saja.

Keadaan ini, di sisi lain, justru membawa hikmah bagi orang-orang yang berada supaya sesekali merasakan pen­deritaan hidup orang miskin yang senantiasa menahan lapar dan haus. Keadaan ini terus berlangsung hingga pada suatu hari, ketika Rasulullah sedang berkhotbah di masjid, di mana para jamaah pun sedang mendengarkan dengan khusyunya, tiba-tiba ada seorang Arab pedalaman yang baru saja ikut berjamaah bersama Rasulullah, berdiri dan angkat bicara, "Ya Rasulullah, karena kemarau yang sangat panjang ini, banyak sudah harta benda kami yang telah musnah. Oleh sebab itu, berdoalah kepda Allah agar Dia menurunkan hujan buat kami!"

Rasulullah pun mengabulkan permintaan orang Arab Badui tadi. Tidak lama kemudian, udara yang tadinya panas menyengat, tiba-tiba berubah dingin menyejukkan, kemudian awan hitam tampak bergulung-gulung di angkasa, lalu hujan pun turun dengan derasnya. Maka, sahabat yang masih berada dalam masjid terpaksa menunggu sampai hujan reda untuk pulang kembali ke rumahnya.

Lama mereka menunggu hujan reda, namun hujan itu tidak kunjung reda, hingga banyak di antara mereka yang nekat menerjang hujan, sampai badan mereka terguyur air. Sampai beberapa hari lamanya, hujan terus tercurah dari langit tidak henti-hentinya. Kilat dan petir menyambar silih berganti. Hal itu membuat orang-orang yang berjamaah di masjid menjadi berkurang. Ada pula beberapa orang sahabat yang nekat berguyur air hujan karena tidak mau ketinggalan shalat ber­jamaah bersama Rasulullah saw.

Di dalam masjid, Rasulullah hanya berjamaah dengan beberapa orang saja. Pada waktu shalat ashar tiba, sesudah selesai melaksanakan shalat, Rasulullah seperti biasanya memberikan ceramah di hadapan para sahabatnya. Pada waktu itulah salah seorang dari sahabat Rasulullah meminta agar beliau menghentikan hujan yang terms turun. Orang itu berkata, "Wahai Rasulullah, karena hujan yang terus-menerus turun, harta benda kami banyak yang rusak, maka berdoalah untuk memohon kepada Allah agar Dia menghentikan hujan ini."

Sekali lagi, Rasulullah tidal( menolak permintaan sahabat tadi Beliau langsung menengadahkan tangannya, meminta kepada Allah agar hujan dihentikan. Maka, tiba-tiba awan hitam di langit tersapu oleh awan putih yang cerah, hingga perlahan­lahan matahari pun muncul di permukaan langit. Kini, udara yang tadinya dingininenggigit, mulai hangat menyenangkan. Melihat hal itu, Rasulullah pun tersenyum sembari bergumam, "Andai Abdul Muthalib masih hidup, is merasa senang menatap cucunya."